A. Pengertian Kista Ovarium
Kista ovarium adalah kantong tertutup berdinding membran yang berlapis epitel dan cairan atau semi cairan dengan berbagai bentuk,
permukaanya
bisa rata, halus, licin,
dan ada yang dapat di
gerakan ataupun tidak tumbuh di dalam rongga ovarium (Prawirohardjo, 2010).
Kista ovarium adalah rongga berbentuk kantong berisi cairan didalam jaringan ovarium. Kista ovarium sering terjadi pada
wanita dimasa reproduksinya. Sebagian besar kista
terbentuk karena perubahan
kadar hormone yang terjadi selama siklus haid, produksi
dan pelepasan
sel telur dari ovarium.
B.
Etiologi
Penelitian epidemiologi telah
gagal untuk mencapai suatu konsensus mengenai kontribusi dari karsinogen terhadap etiologi dari kista ovarium . Sebenarnya masih belum dapat
dapat diketahui secara pasti perkembangan kista ovarium. Saat ini ada beberapa
hipotesis yang dikemukakan dalam proses terjadinya kista ovarium, yaitu:
1)
Teori Incessant Ovulation
Hipotesis ini pertama
kali diajukan oleh Fathalla pada tahun 1971 dan kemudian dilanjutkan oleh peneliti lainnya,
mengatakan bahwa trauma berulang selama ovulasi mengakibatkan pajanan epithelial
permukaan ovarium terhadap abnormalitas genetik
dan faktor risiko lainnya. Dalam hal ini, usia menstruasi dini, menopause pada usia lanjut, dan nulipara,
semuanya merupakan hal yang mengakibatkan ovulasi
lebih banyak. Sebaliknya kondisi yang menekan ovulasi, seperti kehamilan dan menyusui
telah dilaporkan menurunkan risiko terjadinya kista ovarium.
Ovulasi dan
bertambahnya usia menyebabkan terperangkapnya fragmen epitel permukaan ovarium pada cleft
(invaginasi permukaan) dan badan inklusi pada korteks ovarium. Beberapa penelitian telah
membuktikan hubungan langsung frekuensi
metaplasia dan neoplasma konversi pada daerah invaginasi dan badan inklusi. Hal ini
memungkinkan karena pajanan berlebihan terhadap hormone atau lingkungan stromal kaya faktor
pertumbuhan. Maka epithelial permukaan ovarium yang
terjebak di korteks ovarium dapat dianggap sebagai proses neoplastik tempat
berkembangnya kanker epithelia ovarium. Akan tetapi, bagaimana sel epitel permukaan
atau ksita berkembang menjadi ganas belum diktehui sepenuhnya.
Ness dan Cottreau
melalui penelitaannya mengungkapkan, inflamasi di lingkungan ovarium, seperti kerusakan sel, pajanan
oksidatif, dan peningkatan sitokin dan
prostaglandin, daripada terperangkapnya epithelial permukaan ovarium pada stroma. Kehilangan
berulang membrane basal selama ovulasi, telah di implikasikan sebagai kejadian awal dari kista ovarium.
2)
Teori inflamasi
Teori ini berdasarkan
peningkatan insiden kanker ovarium pada individu dengan penyakit inflamasi pelvis. Teori ini menduga
karsinogen dapat berkontak dengan ovarium setelah
melewati saluran genital. Walaupun adanya proteksi oleh ligasi tuba da histerektomi
mendukung teori ini, tapi peranan signifikan faktor reproduksi lainnya tidak
dijelaskan oleh teori ini.
3)
Teori Gonadotropin
Teori ini juga dapat
dikemukakan sebagai dasar timbulnya kanker ovarium, karena kadar gonadotropin yang
tinggi, berkaitan dengan lonjakan yang terjadi selama proses ovulasi dan hilangnyagonadal negative
feedback pada menopause dan kegagalan ovarium
premature, dapat memegang peranan penting dalam perkembangan dan progresi kista ovarium. Cramer dan Welch, lebih lanjut
menerangkan hubungan antara gonadotropin dan estrogen. Sekresi gonadotropin dalam jumlah banyak,
mengakibatkan peningkatan stimulasi estrogen
epithelial permukaan ovarium, yang bertanggung jawab terhadap peningkatan risiko kanker
ovarium.
C.
Klasifikasi Kista Ovarium
Berdasarkan sifat kista neoplasma terbagi atas:
1)
Tumor serus
Merupakan
neoplasma kistik yang dilapisi sel-sel epitel
kolumnar tinggi, bersilia maupun tanpa silia, dengan cairan serus jernih
di dalamnya. Tumor serus merupakan 30% dari tumor ovarium, dan lebih dari 50%
dari semua tumor epitelial. Karsinoma serus merupakan tumor ganas tipe epitelial yang terbanyak, 40% dari semua
kanker ovarium (Berek, 2007; Kumar
dkk., 2010).
Karakteristik
tumor serus merupakan lesi kistik dengan papil yang terkandung dalam dinding
fibrus kista bagian dalam atau pada permukaan ovarium. Tumor jinak ditandai
dengan kista berdinding tipis,licin dan mengkilat, tanpa penebalan epitel atau
dengan penonjolan papil-papil kecil. Kista ini memiliki potensi pertumbuhan
papiler ke dalam rongga kista sebesar 50% dan pada permukaan luar kista sebesar
5%. Penonjolan papil ini akan meningkat jumlahnya pada tumor borderline. Tumor umumnya bilateral,
terjadi pada 20% serous cystadenoma,
pada 30% tumor serous borderline, dan
pada 60% karsinoma serus (Berek, 2007;
Kumar dkk., 2010).Tumor serus adenofibroma
sebagian besar merupakan tumor solid yang terdiri dari jaringan ikat fibrus
(Kaku dkk., 2003).
Secara
histologis, tumor serus jinak berupa struktur kista dengan lapisan epitel
kolumnar dengan banyak silia, dan dapat
ditemukannya papil mikroskopis. Tumor serus
borderline menunjukkan peningkatan kompleksitas proliferasi dari
stroma papil, stratifikasi epitel, dengan
atipia inti ringan, tanpa adanya infiltrasi destruktif pada stroma. Kecurigaan
keganasan ditandai dengan massa tumor solid dengan papil-papil dalam jumlah
banyak, ireguler, serta fiksasi dan nodul pada kapsul. Karakteristik tumor
ganas ditandai dengan pola pertumbuhan yang lebih kompleks dengan infiltrasi
stroma, atipia inti termasuk pleomorfisme, mitosis atipik, dan multinukleasi.
Struktur kalsifikasi konsentris (psammoma
bodies) yang juga disebut fokus material asing, berupa pengendapan kalsium
dalam stroma jaringan papiler, merupakan ciri khas tumor serus dan ditemukan
pada 80% karsinoma serus, namun tidak spesifik untuk neoplasia (Berek, 2007; Kumar dkk., 2010).
Perangai biologis tergantung dari
derajat diferensiasi, distribusi, dan karakteristik pertumbuhannya pada
peritoneum. Tumor serus borderline
dapat membentuk implantasi invasif dan non invasif.Implantasi non invasif
muncul dari atau meluas ke peritoneum dalam bentuk proliferasi papil dari
sel-sel atipik yang membentuk invaginasi, terlokalisir, tanpa gejala,
penyebaran yang lambat, dan setelah beberapa tahun dapat menyebabkan obstruksi
intestinal atau komplikasi lainnya.
Jenis implantasi invasif tumor serus borderlinememiliki
ciri-ciri sel atipik yang membentuk kelenjar yang ireguler dengan batas yang
tegas, dianggap sebagai lesi prekursor karsinoma serus derajat rendah, yang
secara klinis memiliki ciri progresivitas yang lambat dengansurvival yang lebih lama. Berbeda dengan
jenis karsinoma serus derajat tinggi yang memiliki progresivitas tinggi dengan
metastase luas pada abdomen pada saat terdiagnosis. Angka kelangsungan hidup
lima tahun pada tumor borderline dan
ganas dengan massa terbatas pada ovarium masing-masing adalah 100% dan 70%, dan
angka ini berkurang menjadi 90% dan 25% jika ditemukanimplantasi pada
peritoneum. Tumor borderline dapat
rekuren setelah beberapa tahun karena sifat pertumbuhannya yang lambat dan
berlangsung lama(Berek, 2007; Kumar
dkk., 2010).
Faktor risiko yang
hingga kini masih terus didalami pada karsinoma adalah faktor genetik. Mutasi
gen BRCA1 dan BRCA2 dikatakan meningkatkan risiko kanker ovarium. Mutasi BRCA1
ditemukan pada 5% pasien kanker ovarium yang berusia dibawah 70 tahun.
Perkiraan risiko wanita dengan mutasi gen BRCA1 dan BRCA2 pada usia 70 tahun adalah
20 sampai 60% (Kumar dkk., 2010).
2)
Tumor musinus
Merupakan 30% dari semua tumor ovarium,
muncul pada wanita usia pertengahan, jarang terjadi sebelum pubertas dan
setelah menopause. Tumor jinak dan borderline
merupakan 80% kasus, dan 15% kasus adalah tumor ganas. Karsinoma musinus primer
relatif jarang ditemukan, kurang dari 5% dari semua kanker ovarium.
Karakteristik morfologi dan biologi
tumor musinus berbeda dengan tipe serus, dimana tumor musinus jarang melibatkan
permukaan tumor dan jarang terjadi bilateral. Tumor dengan lesi intraovarium
terjadi pada 95-98% kasus. Tumor bilateral hanya terjadi pada 8-10% kasus.
Tumor musinus lebih cenderung memiliki massa tumor yang lebih besar
dibandingkan tumor serus. Tampak sebagai tumor multilokuler yang dilapisi oleh
epitel dengan kandungan musin intrasitoplasma, yang memiliki kemiripan dengan
epitel endoserviks, atau intestinal.Karsinoma musinus, begitu pula karsinoma endometrioid dan clear cell, lebih cenderung ditemukan pada stadium yang lebih awal
(Berek, 2007; Copeland, 2007; Kumar dkk., 2010).
Secara histologis, tumor musinus jinak
ditandai dengan lapisan sel epitel kolumnar tinggi, musin pada bagian apical sel dan tidak adanya struktur
silia. Cystadenocarcinoma musinus
mengandung mayoritas pertumbuhan tumor yang solid, area nekrosis dan hilangnya
struktur kelenjar (Kaku dkk., 2003; Kumar dkk.,2010).
Peudomyxoma peritonei didefinisikan sebagai temuan klinis
berupa ascites musinus yang luas, implantasi epitel kista pada permukaan
peritoneum, dan disertai perlekatan, sehingga dapat menyebabkan obstruksi usus
dan kematian. Hal ini akibat potensi sel epitel untuk tumbuh membentuk struktur
kelenjar, kelenjar membentuk kista-kista baru, yang akan membentuk kista
multilokuler. Dikaitkan dengan tumor musinus primer ekstraovarium, umumnya
karsinoma appendiceal, dengan
pertumbuhan sekunder pada ovarium dengan penyebaran pada peritoneum. Angka kelangsungan hidup 10 tahun pada karsinoma stadium I non
invasif dan invasif masing-masing adalah lebih dari 95% dan 90% (Wheeler, 2001; Kumar dkk., 2010).
Analisa perubahan genetik belum memberikan data yang memadai untuk
menjelaskan patogenesis tumor musinus seperti halnya pada tumor serus. Salah satu
temuan yang konsisten adalah mutasi protoonkogen KRAS. Mutasinya terjadi pada
58% cystadenoma, 75-86% tumor borderline, dan 85% pada karsinoma
musinus primer (Kumar dkk., 2010).
3)
Tumor endometrioid
Tumor endometrioid memiliki
karakteristik adanya elemen epitel, elemen stroma, atau kombinasi keduanya
serupa dengan yang ada pada endometrium (Kaku dkk., 2003). Karsinoma
endometrioid merupakan 20% dari semua kanker ovarium, dengan frekuensi tumor
jinak dan borderline yang sangat
jarang. Tumor ini terjadi bilateral pada 40% kasus, dan berhubungan dengan
ekstensi neoplasma di luar saluran genital. Pada stadium I angka kelangsungan
hidup untuk 5 tahunnya adalah 75% (Berek, 2007; Kumar dkk., 2010).
Tumor jenis ini dibedakan dari tumor serus dan musinus melalui adanya
struktur kelenjar tubuler yang memiliki kemiripan dengan endometrium. Tumor
endometrioid borderline dikaitkan
dengan endometriosis, dan 15-30% karsinoma endometrioid disertai dengan
karsinoma endometrium. Kasus karsinoma endometrioid yang berhubungan dengan endometriosis
ditemukan terjadi pada usia yang lebih muda 10 tahun dibandingkan dengan kasus
yang tidak berhubungan dengan endometriosis.
Tumor endometrioid borderline memiliki spektrum morfologi
yang luas. Tumor dapat memiliki kemiripan dengan polip endometrium atau
kompleks hiperplasia endometrial dengan kelenjar, atau memiliki komponen
fibroma yang jelas. Karsinoma endometrioid muncul dalam kombinasi tumor kistik
dan solid, berisi cairan berwarna coklat gelap, dengan karakteristik pola adenomatous serta dalam bentuk berbagai
potensi variasi epitel pada uterus (Kaku dkk.,2003; Berek, 2007; Kumar dkk., 2010). Tumor
endometrioid berdiferensiasi buruk sulit dibedakan dengan tumor serus, dan
seringkali tumor jenis ini dikategorikan ke dalam tumor serus. Hal ini
menyebabkan tumor endometrioid secara keseluruhan memiliki prognosis yang baik
(Schorge dkk., 2008).
Meskipun kejadiannya lebih
jarang dibandingkan dengan tumor serus dan musinus, namun perubahan molekuler
yang teridentifikasi dalam perkembangannya tumor ini lebih banyak diketahui.
Perubahan molekuler yang sering ditemukan adalah mutasi pada tumor supressor gene PTEN dan onkogen
KRAS dan β-catenin, serta adanya microsatellite
instability (Wheeler, 2001;Kumar dkk., 2010).
4)
Tumor clear-cell
Karakteristik tumor ini
adalah lapisan sel epitel dengan ukuran besar, dengan sitoplasma jernih yang
luas, yang memiliki kemiripan dengan endometrium gestational yang mengalami
hipersekresi. Diduga berasal dari perkembangan duktus mülleri serta variasi dari karsinoma endometrioid. Dapat bersifat
solid atau kistik (Kumar dkk, 2010).
Secara histologis, dapat
ditemukan beberapa pola pada adenokarsinoma clear
cell, dapat berupa tubulokistik, papil, recticular,
dan solid. Tumor terdiri dari clear cell
dan sel-sel hobnail dengan inti sel bulbous yang menonjol pada tepi sitoplasma. Sel berukuran tinggi dengan
vakuola sitoplasma yang jernih akibat disolusi glikogen, inti hiperkromatik
yang ireguler, serta nukleoli dalam berbagai ukuran (Berek, 2007; Schorge dkk.,
2008).
Angka kelangsungan hidup 5
tahun untuk tumor ini adalah 65% jika tumor masih dalam struktur ovarium, namun
tumor ini cenderung bersifat agresif dengan perluasan di luar ovarium (Kumar
dkk., 2010). Rekurensinya terjadi melalui penyebaran pada permukaan peritoneum,
dengan metastase pada kelenjar limfe, hepar, paru dan tulang yang lebih sering
terjadi dibandingkan dengan karsinoma tipe serus (Wheeler, 2001).
Perubahan molekuler yang
mendasari patogenesisnya masih sedikit yang dapat diungkap. Analisa DNA
menunjukkan mayoritas tumor memiliki daerah diploid maupun aneuploid,
dimana pola variasi seperti ini sangat
jarang ditemukan pada karsinoma ovarium lainnya
(Kumar dkk., 2010).
5)
Tumor brenner/sel transisional
Tumor brenner diklasifikasikan sebagai adenofibroma,
terdiri dari matriks fibromatus hiperplastik yang mengandung sarang-sarang sel
epiteloid menyerupai sel transisional pada saluran kemih. Sebagian besar (99%)
tumor brenner ditemukan dalam bentuk jinak dan unilateral (90%), dengan ukuran
yang bervariasi (Kumar dkk., 2010). Tumor brenner ganas merupakan area residu
proliferasi tumor jinak disertai komponen karsinoma epitelial infiltratif yang
ganas dengan gambaran histologis berupa sel transisional, sel skuamus, atau undifferentiated (Berek, 2007).
Karsinoma sel transisional secara histologis ditandai dengan tidak
ditemukannya komponen tumor brenner, memiliki kemiripan dengan karsinoma primer kandung kemih, namun dengan pola
imunoreaktivitas yang konsisten dengan ovarium. Karsinoma sel transisional
memiliki perangai biologis yang berbeda dengan tumor Brenner ganas. Karsinoma
sel transisional lebih sering terdiagnosis pada stadium yang lebih lanjut
sehingga memiliki prognosis yang lebih buruk. Karsinoma ovarium yang lebih dari
50% bagiannya merupakan karsinoma sel transisional, ternyata menunjukkan
sensitivitas yang lebih baik terhadap kemoterapi sehingga memiliki prognosis
yang baik jika dibandingkan dengan jenis karsinoma ovarium poorly differentiated lainnya pada stadium yang sama (Berek, 2007;
Schorge dkk., 2008).
2.1.3 Patofisiologi
Setiap hari, ovarium normal akan
membentuk beberapa kista kecil yang disebut Folikel de Graff. Pada pertengahan
siklus, folikel dominan dengan diameter lebih dari 2.8 cm akan melepaskan oosit
mature. Folikel yang rupture akan menjadi korpus luteum, yang pada saat matang
memiliki struktur 1,5 – 2 cm dengan kista ditengah-tengah. Bila tidak terjadi
fertilisasi pada oosit, korpus luteum akan mengalami fibrosis dan pengerutan
secara progresif. Namun bila terjadi fertilisasi, korpus luteum mula-mula akan
membesar kemudian secara gradual akan mengecil selama kehamilan.
Kista ovari yang berasal dari
proses ovulasi normal disebut kista fungsional dan selalu jinak. Kista dapat
berupa folikular dan luteal yang kadang-kadang disebut kista theca-lutein.
Kista tersebut dapat distimulasi oleh gonadotropin, termasuk FSH dan HCG. Kista
fungsional multiple dapat terbentuk karena stimulasi gonadotropin atau
sensitivitas terhadap gonadotropin yang berlebih. Pada neoplasia tropoblastik
gestasional (hydatidiform mole dan
choriocarcinoma) dan kadang-kadang pada kehamilan multiple dengan diabetes,
HCG menyebabkan kondisi yang disebut hiperreaktif lutein. Pasien dalam terapi
infertilitas, induksi ovulasi dengan menggunakan gonadotropin (FSH dan LH) atau
terkadang clomiphene citrate, dapat menyebabkan sindrom hiperstimulasi ovari,
terutama bila disertai dengan pemberian HCG.
Kista neoplasia dapat tumbuh dari
proliferasi sel yang berlebih dan tidak terkontrol dalam ovarium serta dapat
bersifat ganas atau jinak. Neoplasia yang ganas dapat berasal dari semua jenis
sel dan jaringan ovarium. Sejauh ini, keganasan paling sering berasal dari
epitel permukaan (mesotelium) dan sebagian besar lesi kistik parsial. Jenis
kista jinak yang serupa dengan keganasan ini adalah kistadenoma serosa dan
mucinous. Tumor ovari ganas yang lain dapat terdiri dari area kistik, termasuk
jenis ini adalah tumor sel granulosa dari sex cord sel dan germ cel tumor dari
germ sel primordial. Teratoma berasal dari tumor germ sel yang berisi elemen
dari 3 lapisan germinal embrional; ektodermal, endodermal, dan mesodermal.
Karsinogenesis merupakan proses
bertahap pada tingkat genetik dan fenotip sebagai hasil dari akumulasi mutasi
yang terjadi berulangkali. Kerusakan genetik merupakan mekanisme dasar dari
proses karsinogenesis. Kerusakan ini dapat diakibatkan oleh faktor lingkungan, seperti bahan kimiawi, radiasi, virus,
atau hasil pewarisan pada sifat germ line.
Namun tidak semua mutasi diakibatkan oleh faktor lingkungan karena beberapa
dapat terjadi secara spontan. Target utama dari kerusakan genetik ini adalah
empat kelompok gen utama, yaitu protoonkogen yang berfungsi meningkatkan
pertumbuhan dan proliferasi sel normal, yang kemudian hasil mutasinya disebut
onkogen (HER2Neu,RAS,MYC,CDK1) kemudian gen lainnya adalah tumor supressor gene yang berfungsi menghambat proliferasi sel, gen
yang mengatur mekanisme apoptosis, serta gen yang terlibat dalam perbaikan DNA
(Stricker, 2007).
Perubahan fundamental yang
terjadi dalam karsinogenesis antara lain adalah kemampuan self sufficiency terhadap sinyal pertumbuhan yaitu kemampuan sel
tumor untuk berproliferasi tanpa membutuhkan sinyal pertumbuhan ataupun
rangsangan dari luar, hal ini merupakan akibat dari aktivasi onkogen. Perubahan sifat lainnya adalah
insensitivitas terhadap sinyal inhibitor pertumbuhan, kemampuan untuk
menghindari mekanisme apoptosis sebagai akibat inaktivasi p53 maupun aktivasi
gen antiapoptosis. Sel tumor juga memiliki kemampuan yang tidak terbatas untuk
bereplikasi, kemampuan angiogenesis yang berlangsung terus menerus untuk
memenuhi kebutuhan nutrisi dan oksigen, kemampuan invasi dan metastasis, serta
terjadinya defek pada gen perbaikan DNA.Perubahan lain yang juga memiliki peran
penting dalam perkembangan tumor adalah
kemampuan untuk melepaskan diri dari mekanisme sistem kekebalan tubuh
atau imunitas (Hanahan, 2000; Tripathy, 2003; Stricker, 2007). Keseimbangan antara mekanisme proliferasi
sel dengan apoptosis atau Programmed Cell
Death (PCD) akan menjaga keberlangsungan jaringan normal. Mekanisme
apoptosis merupakan proses aktif yang melibatkan energi yang diawali oleh
ekspresi gen-gen spesifik. Pertumbuhan tumor secara progresif diakibatkan
ketidakseimbangan antara proliferasi dan kematian sel, dalam patogenesisnya sel
kanker tidak hanya gagal bereaksi terhadap sinyal untuk menghentikan
proliferasinya, namun juga gagal dalam menerima sinyal fisiologis untuk memulai
mekanisme apoptosis. Apoptosis dipicu oleh banyak faktor antara lain sinyal
intraseluler dan rangsangan eksogen seperti paparan radiasi, kemoterapi serta
hormonal. Proses ini ditandai dengan perubahan-perubahan secara histologis, biokimiawi dan biologi
molekuler (Lowe, 2000;Berek,2007).
Karsinogenesis pada kanker ovarium, terutama kanker
ovarium epitelial atau karsinoma ovarium
masih belum dapat diungkap secara jelas. Suatu model yang diajukan Schorge dkk.
(2008) membagi tumorigenesis kanker ovarium epitelial menjadi tiga jalur utama.
Jalur yang pertama merupakan hasil dari akumulasi penyimpangan genetik yang
menyebabkan perubahan keganasan dari kista jinak menjadi tumor borderline atau Low Malignant Potential (LMP) dan kemudian menjadi karsinoma
ovarium yang invasif. Jenis tumor invasif yang termasuk dalam jalur ini
memiliki sifat pertumbuhan yang lambat dengan derajat diferensiasi yang baik.
Jalur yang kedua merupakan hasil dari sifat-sifat
yang diturunkan, dengan frekuensi 5-10% dari kanker tipe epitelial. Kanker
familial dengan mutasi gen BRCA muncul pada usia 15 tahun lebih awal dari jenis
kanker yang bersifat sporadis. Mutasi gen BRCA menyebabkan terhentinya fungsi
normal dari tumor supressor gene
BRCA. Penghentian fungsi normal ini berlangsung dalam mekanisme yang lebih
cepat. Kanker ovarium dan peritoneum dengan mutasi BRCA memiliki patogenesis
molekuler yang khas, dimana dalam pertumbuhannya didapatkan inaktivasi gen p53.
Gen p53 merupakan tumor supressor gene
yang telah dipetakan pada kromosom 17. Produk proteinnya mencegah sel memasuki
fase pembelahan selanjutnya dari siklus sel, sehingga mencegah replikasi sel
tumor yang tidak terkontrol. Mutasi dari gen p53 ini dikaitkan dengan berbagai
jenis kanker. Hilangnya fungsi normal gen BRCA dan p53 ditemukan pada tahap
dini sebelum terjadinya invasi, sehingga hal ini menunjukkan peran penting gen
ini dalam proses awal keganasan.
Jalur yang ketiga, merupakan
mekanisme yang terjadi pada sebagian besar karsinoma, berawal dari perubahan sel epitel permukaan
ovarium pada kista inklusi yang masuk ke dalam struktur stroma ovarium. Siklus perubahan permukaan ovarium selama
proses ovulasi dalam periode yang panjang dan berulang-ulang menyebabkan
terjadinya proliferasi sel yang berlebihan. Mutasi p53 secara spontan yang
muncul selama sintesis DNA yang menyertai proliferasi berperan penting dalam
jalur ini. Terdapat pula kemungkinan terjadinya inaktivasi dini beberapa jenis
gen lainnya.
Shih dan Kurman (2007) membagi model tumorigenesis
karsinoma ovarium berdasarkan profil morfologis dan genetiknya menjadi dua tipe
tumorigenesis. Tipe I merupakan perkembangan tumor yang berasal dari tumor borderline dengan lesi perkursor yang
telah diketahui. Tumorigenesis tipe I terjadi pada karsinoma serus
berdiferensiasi baik, karsinoma musinus, kersinoma endometrioid, tumor brenner
ganas, dan karsinoma clear cell. Tipe
ini berhubungan dengan mutasi BRAF dan KRAS pada tipe serus, mutasi KRAS pada
tipe musinus, mutasi b-catenin dan PTEN serta microsatellite instability pada tipe endometrioid. Tumorigenesis
tipe II terjadi pada karsinoma serus berdiferensiasi buruk, karsinosarkoma, dan
karsinoma undifferentiated. Cenderung
terjadi pada tumor berdiferensiasi buruk, dengan lesi prekursor yang belum
teridentifikasi, sehingga dikenal dengan perkembangan de novo. Profil genetiknya masih terbatas, namun diketahui memiliki
kaitan dengan mutasi p53.
Seperti halnya pada tumor serus, patogenesis tumor
musinus juga belum diketahui dengan jelas. Analisa faktor risiko belum dapat
menjelaskan perbedaan tipe histologis yang ada. Beberapa penelitian
menghubungkan tumor musinus dengan faktor risiko yang berbeda dengan tumor
serus seperti contohnya risiko merokok. Analisa perubahan genetik tidak
menunjukkan data yang memadai. Salah satu temuan yang konsisten adalah mutasi
protoonkogen KRAS. Mutasinya terjadi pada 58% cystadenoma, 75-86% tumor borderline, dan 85% pada karsinoma
musinus primer (Kumar dkk., 2010;Pothuri,2010).
Etiologi dari
perubahan seluler yang berperan dalam perkembangan tumor ovarium epitelial
didasari oleh perubahan yang terjadi pada tingkat molekuler serta terjadinya
defek yang spesifik. Hal ini menandakan bahwa perbedaan gambaran dan pola
histologis yang terjadi pada kanker ovarium berhubungan dengan terjadinya defek
yang berbeda-beda pada gen-gen yang mendasari setiap tipe fenotip histologisnya
(Wheeler, 2001;Karst,2010).
DAFTAR PUSTAKA
Berek,J.S.,
Natarajan, S. 2007. Ovarian and Fallopian
Tube Cancer, in: Berek & Novak’s Gynecology, 14th Ed. California: Lippincott William &
Wilkins. p.1457-1531.
Copeland, L.J. 2007.
Epithelial Ovarian Cancer, in:
Clinical Gynecologic Oncology, 7th Ed. Mosby Elsevier inc.
p.317-371.
Hanahan, D., Weinberg, R.A. 2000. The Hallmark of
Cancer Cell, 100: 57-70.
Kaku, T., Ogawa, S.,
Kawano, Y., Ohishi, Y., Kobayasi, H., Hirakawa, T., Nakano, H. 2003.
Histological Classification of Ovarian
Cancer. Med Electron Microsc. 36: 9-17.
Karst, A.M., Drapkin, R. 2010. Ovarian Cancer Pathogenesis : A
Model in Evolution. Journal of Oncology.
Vol 2010. Article ID 932371, 13.
Kumar, V., Abbas,
A.K., Fausto, N., Aster, J.C. 2010. Neoplasia,
in: Robbin and Cotran Pathologic Basis of Disease, 8th Ed.
Philadelphia: Saunders Elsevier: 269-342.
Lowe, S.C., Lin,
A.W. 2000. Apoptosis in Cancer. Carcinogenesis. Oxford University Press. Vol 21
no3: 485-495.
Pothuri, B. 2010.
Genetic Analysis of The Early Natural History of Epithelial Ovarian Carcinoma. PlosONE
5(4):e10358.doi:10.1371/journal.pone.0010358.
Schorge, J.O.,
Schaffer, J.I., Halvorson, L.M., Hoffman, B.L., Bradshaw, K.D., Cunningham,
F.G. 2008. Epithelial Ovarian Cancer,
Ovarian Germ Cell and Sex Cord-Stromal Tumors, in:Williams Gynecology.
Texas: The McGraw-Hill Companies Inc. Section 4, Chapter 35-36.
Shih, I., Kurman,
R.J. 2007. Ovarian Serous Carcinogenesis:
a proposed model.in: Giordano, A., Bovicelli, A., Urman, R.J. (editor)
Molecular Pathology of Gynecologic Cancer. New Jersey. Humana Press Inc.
p.1511-1518.
Stricker, T.P.,
Kumar,V. 2007. Neoplasia, in: Robbin
Basic Pathology, 8th Ed. Philadelphia: Saunders Elsevier.p.173-208.
Tripathy, D., Rubenstein, J. 2003. Neoplasia, in: McPhee, S.J., Lingapa, V.R., Ganong, W.F. (editor)
Lange Pathophysiology of Disease: an Introduction to Clinical Medicine, 4th
Ed. New York: McGraw-Hill Companies.p.91-112.
Wheeler, J.E. 2001. Histopathology
of Ovarian Cancer, in: Rubin, S.C., Sutton,G.P. (editor) Ovarian Cancer, 2nd
Ed. Lippincott Williams & Wilkins.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar