Rabu, 01 Februari 2017

KISTA OVARIUM

A.   Pengertian Kista Ovarium
Kista ovarium adalah kantong tertutup berdinding membran yang berlapis epitel dan cairan atau semi cairan dengan berbagai bentuk, permukaanya  bisa  rata,  halus,  licin,  dan  ada  yang  dapat  di  gerakan ataupun tidak tumbuh di dalam rongga ovarium (Prawirohardjo, 2010).
Kista ovarium adalah rongga berbentuk kantong berisi cairan didalam jaringan ovarium. Kista ovarium sering terjadi pada wanita dimasa reproduksinya. Sebagian besar kista terbentuk karena perubahan kadar hormone yang terjadi selama siklus haid, produksi dan pelepasan sel telur dari ovarium.
B.       Etiologi
Penelitian epidemiologi telah gagal untuk mencapai suatu konsensus mengenai kontribusi dari karsinogen terhadap etiologi dari kista ovarium . Sebenarnya masih belum dapat dapat diketahui secara pasti perkembangan kista ovarium. Saat ini ada beberapa hipotesis yang dikemukakan dalam proses terjadinya kista ovarium, yaitu:
1)        Teori Incessant Ovulation
Hipotesis ini pertama kali diajukan oleh Fathalla pada tahun 1971 dan kemudian dilanjutkan oleh peneliti lainnya, mengatakan bahwa trauma berulang selama ovulasi mengakibatkan pajanan epithelial permukaan ovarium terhadap abnormalitas genetik dan faktor risiko lainnya. Dalam hal ini, usia menstruasi dini, menopause pada usia lanjut, dan nulipara, semuanya merupakan hal yang mengakibatkan ovulasi lebih banyak. Sebaliknya kondisi yang menekan ovulasi, seperti kehamilan dan menyusui telah dilaporkan menurunkan risiko terjadinya kista ovarium.
Ovulasi dan bertambahnya usia menyebabkan terperangkapnya fragmen epitel permukaan ovarium pada cleft (invaginasi permukaan) dan badan inklusi pada korteks ovarium. Beberapa penelitian telah membuktikan hubungan langsung frekuensi metaplasia dan neoplasma konversi pada daerah invaginasi dan badan inklusi. Hal ini memungkinkan karena pajanan berlebihan terhadap hormone atau lingkungan stromal kaya faktor pertumbuhan. Maka epithelial permukaan ovarium yang terjebak di korteks ovarium dapat dianggap sebagai proses neoplastik tempat berkembangnya kanker epithelia ovarium. Akan tetapi, bagaimana sel epitel permukaan atau ksita berkembang menjadi ganas belum diktehui sepenuhnya.
Ness dan Cottreau melalui penelitaannya mengungkapkan, inflamasi di lingkungan ovarium, seperti kerusakan sel, pajanan oksidatif, dan peningkatan sitokin dan prostaglandin, daripada terperangkapnya epithelial permukaan ovarium pada stroma. Kehilangan berulang membrane basal selama ovulasi, telah di implikasikan sebagai kejadian awal dari kista ovarium.
2)        Teori inflamasi
Teori ini berdasarkan peningkatan insiden kanker ovarium pada individu dengan penyakit inflamasi pelvis. Teori ini menduga karsinogen dapat berkontak dengan ovarium setelah melewati saluran genital. Walaupun adanya proteksi oleh ligasi tuba da histerektomi mendukung teori ini, tapi peranan signifikan faktor reproduksi lainnya tidak dijelaskan oleh teori ini.
3)        Teori Gonadotropin
Teori ini juga dapat dikemukakan sebagai dasar timbulnya kanker ovarium, karena kadar gonadotropin yang tinggi, berkaitan dengan lonjakan yang terjadi selama proses ovulasi dan hilangnyagonadal negative feedback pada menopause dan kegagalan ovarium premature, dapat memegang peranan penting dalam perkembangan dan progresi kista ovarium. Cramer dan Welch, lebih lanjut menerangkan hubungan antara gonadotropin dan estrogen. Sekresi gonadotropin dalam jumlah banyak, mengakibatkan peningkatan stimulasi estrogen epithelial permukaan ovarium, yang bertanggung jawab terhadap peningkatan risiko kanker ovarium.
C.      Klasifikasi Kista Ovarium
Berdasarkan sifat kista neoplasma terbagi atas:
1)        Tumor serus
Merupakan neoplasma kistik yang dilapisi sel-sel epitel  kolumnar tinggi, bersilia maupun tanpa silia, dengan cairan serus jernih di dalamnya. Tumor serus merupakan 30% dari tumor ovarium, dan lebih dari 50% dari semua tumor epitelial. Karsinoma serus merupakan tumor ganas  tipe epitelial yang terbanyak, 40% dari semua kanker ovarium (Berek, 2007; Kumar dkk., 2010).
Karakteristik tumor serus merupakan lesi kistik dengan papil yang terkandung dalam dinding fibrus kista bagian dalam atau pada permukaan ovarium. Tumor jinak ditandai dengan kista berdinding tipis,licin dan mengkilat, tanpa penebalan epitel atau dengan penonjolan papil-papil kecil. Kista ini memiliki potensi pertumbuhan papiler ke dalam rongga kista sebesar 50% dan pada permukaan luar kista sebesar 5%. Penonjolan papil ini akan meningkat jumlahnya pada tumor borderline. Tumor umumnya bilateral, terjadi pada 20% serous cystadenoma, pada 30% tumor serous borderline, dan pada 60% karsinoma serus (Berek, 2007; Kumar dkk., 2010).Tumor serus adenofibroma sebagian besar merupakan tumor solid yang terdiri dari jaringan ikat fibrus (Kaku dkk., 2003).
Secara histologis, tumor serus jinak berupa struktur kista dengan lapisan epitel kolumnar  dengan banyak silia, dan dapat ditemukannya papil mikroskopis. Tumor serus borderline menunjukkan peningkatan kompleksitas proliferasi dari stroma  papil, stratifikasi epitel, dengan atipia inti ringan, tanpa adanya infiltrasi destruktif pada stroma. Kecurigaan keganasan ditandai dengan massa tumor solid dengan papil-papil dalam jumlah banyak, ireguler, serta fiksasi dan nodul pada kapsul. Karakteristik tumor ganas ditandai dengan pola pertumbuhan yang lebih kompleks dengan infiltrasi stroma, atipia inti termasuk pleomorfisme, mitosis atipik, dan multinukleasi. Struktur kalsifikasi konsentris (psammoma bodies) yang juga disebut fokus material asing, berupa pengendapan kalsium dalam stroma jaringan papiler, merupakan ciri khas tumor serus dan ditemukan pada 80% karsinoma serus, namun tidak spesifik untuk neoplasia (Berek, 2007; Kumar dkk., 2010).
       Perangai biologis tergantung dari derajat diferensiasi, distribusi, dan karakteristik pertumbuhannya pada peritoneum. Tumor serus borderline dapat membentuk implantasi invasif dan non invasif.Implantasi non invasif muncul dari atau meluas ke peritoneum dalam bentuk proliferasi papil dari sel-sel atipik yang membentuk invaginasi, terlokalisir, tanpa gejala, penyebaran yang lambat, dan setelah beberapa tahun dapat menyebabkan obstruksi intestinal atau komplikasi lainnya.  Jenis implantasi invasif tumor serus borderlinememiliki ciri-ciri sel atipik yang membentuk kelenjar yang ireguler dengan batas yang tegas, dianggap sebagai lesi prekursor karsinoma serus derajat rendah, yang secara klinis memiliki ciri progresivitas yang lambat dengansurvival yang lebih lama. Berbeda dengan jenis karsinoma serus derajat tinggi yang memiliki progresivitas tinggi dengan metastase luas pada abdomen pada saat terdiagnosis. Angka kelangsungan hidup lima tahun pada tumor borderline dan ganas dengan massa terbatas pada ovarium masing-masing adalah 100% dan 70%, dan angka ini berkurang menjadi 90% dan 25% jika ditemukanimplantasi pada peritoneum. Tumor borderline dapat rekuren setelah beberapa tahun karena sifat pertumbuhannya yang lambat dan berlangsung lama(Berek, 2007; Kumar dkk., 2010).
       Faktor risiko yang hingga kini masih terus didalami pada karsinoma adalah faktor genetik. Mutasi gen BRCA1 dan BRCA2 dikatakan meningkatkan risiko kanker ovarium. Mutasi BRCA1 ditemukan pada 5% pasien kanker ovarium yang berusia dibawah 70 tahun. Perkiraan risiko wanita dengan mutasi gen BRCA1 dan BRCA2 pada usia 70 tahun adalah 20 sampai 60% (Kumar dkk., 2010).
2)        Tumor musinus
       Merupakan 30% dari semua tumor ovarium, muncul pada wanita usia pertengahan, jarang terjadi sebelum pubertas dan setelah menopause. Tumor jinak dan borderline merupakan 80% kasus, dan 15% kasus adalah tumor ganas. Karsinoma musinus primer relatif jarang ditemukan, kurang dari 5% dari semua kanker ovarium.
       Karakteristik morfologi dan biologi tumor musinus berbeda dengan tipe serus, dimana tumor musinus jarang melibatkan permukaan tumor dan jarang terjadi bilateral. Tumor dengan lesi intraovarium terjadi pada 95-98% kasus. Tumor bilateral hanya terjadi pada 8-10% kasus. Tumor musinus lebih cenderung memiliki massa tumor yang lebih besar dibandingkan tumor serus. Tampak sebagai tumor multilokuler yang dilapisi oleh epitel dengan kandungan musin intrasitoplasma, yang memiliki kemiripan dengan epitel endoserviks, atau intestinal.Karsinoma musinus, begitu pula karsinoma endometrioid dan clear cell, lebih cenderung ditemukan pada stadium yang lebih awal (Berek, 2007; Copeland, 2007; Kumar dkk., 2010).
       Secara histologis, tumor musinus jinak ditandai dengan lapisan sel epitel kolumnar tinggi, musin pada bagian apical sel dan tidak adanya struktur silia. Cystadenocarcinoma musinus mengandung mayoritas pertumbuhan tumor yang solid, area nekrosis dan hilangnya struktur kelenjar (Kaku dkk., 2003; Kumar dkk.,2010).
Peudomyxoma peritonei didefinisikan sebagai temuan klinis berupa ascites musinus yang luas, implantasi epitel kista pada permukaan peritoneum, dan disertai perlekatan, sehingga dapat menyebabkan obstruksi usus dan kematian. Hal ini akibat potensi sel epitel untuk tumbuh membentuk struktur kelenjar, kelenjar membentuk kista-kista baru, yang akan membentuk kista multilokuler. Dikaitkan dengan tumor musinus primer ekstraovarium, umumnya karsinoma appendiceal, dengan pertumbuhan sekunder pada ovarium dengan penyebaran pada peritoneum. Angka kelangsungan hidup 10 tahun pada karsinoma stadium I non invasif dan  invasif  masing-masing adalah lebih dari 95% dan 90% (Wheeler, 2001; Kumar dkk., 2010).
       Analisa perubahan genetik belum memberikan data yang memadai untuk menjelaskan patogenesis tumor musinus seperti halnya pada tumor serus. Salah satu temuan yang konsisten adalah mutasi protoonkogen KRAS. Mutasinya terjadi pada 58% cystadenoma, 75-86% tumor borderline, dan 85% pada karsinoma musinus primer (Kumar dkk., 2010).
3)        Tumor endometrioid   
       Tumor endometrioid memiliki karakteristik adanya elemen epitel, elemen stroma, atau kombinasi keduanya serupa dengan yang ada pada endometrium (Kaku dkk., 2003). Karsinoma endometrioid merupakan 20% dari semua kanker ovarium, dengan frekuensi tumor jinak dan borderline yang sangat jarang. Tumor ini terjadi bilateral pada 40% kasus, dan berhubungan dengan ekstensi neoplasma di luar saluran genital. Pada stadium I angka kelangsungan hidup untuk 5 tahunnya adalah 75% (Berek, 2007; Kumar dkk., 2010).
Tumor jenis ini dibedakan dari tumor serus dan musinus melalui adanya struktur kelenjar tubuler yang memiliki kemiripan dengan endometrium. Tumor endometrioid borderline dikaitkan dengan endometriosis, dan 15-30% karsinoma endometrioid disertai dengan karsinoma endometrium. Kasus karsinoma endometrioid  yang berhubungan dengan endometriosis ditemukan terjadi pada usia yang lebih muda 10 tahun dibandingkan dengan kasus yang tidak berhubungan dengan endometriosis.
       Tumor endometrioid borderline memiliki spektrum morfologi yang luas. Tumor dapat memiliki kemiripan dengan polip endometrium atau kompleks hiperplasia endometrial dengan kelenjar, atau memiliki komponen fibroma yang jelas. Karsinoma endometrioid muncul dalam kombinasi tumor kistik dan solid, berisi cairan berwarna coklat gelap, dengan karakteristik pola adenomatous serta dalam bentuk berbagai potensi variasi epitel pada uterus (Kaku dkk.,2003; Berek, 2007; Kumar dkk., 2010). Tumor endometrioid berdiferensiasi buruk sulit dibedakan dengan tumor serus, dan seringkali tumor jenis ini dikategorikan ke dalam tumor serus. Hal ini menyebabkan tumor endometrioid secara keseluruhan memiliki prognosis yang baik (Schorge dkk., 2008).
       Meskipun kejadiannya lebih jarang dibandingkan dengan tumor serus dan musinus, namun perubahan molekuler yang teridentifikasi dalam perkembangannya tumor ini lebih banyak diketahui. Perubahan molekuler yang sering ditemukan adalah mutasi pada tumor supressor gene PTEN dan onkogen KRAS dan β-catenin, serta adanya microsatellite instability (Wheeler, 2001;Kumar dkk., 2010).
4)        Tumor clear-cell
       Karakteristik tumor ini adalah lapisan sel epitel dengan ukuran besar, dengan sitoplasma jernih yang luas, yang memiliki kemiripan dengan endometrium gestational yang mengalami hipersekresi. Diduga berasal dari perkembangan duktus mülleri serta variasi dari karsinoma endometrioid. Dapat bersifat solid atau kistik (Kumar dkk, 2010).  
       Secara histologis, dapat ditemukan beberapa pola pada adenokarsinoma clear cell, dapat berupa tubulokistik, papil, recticular, dan solid. Tumor terdiri dari clear cell dan sel-sel hobnail dengan inti sel bulbous yang menonjol pada tepi  sitoplasma. Sel berukuran tinggi dengan vakuola sitoplasma yang jernih akibat disolusi glikogen, inti hiperkromatik yang ireguler, serta nukleoli dalam berbagai ukuran (Berek, 2007; Schorge dkk., 2008).
       Angka kelangsungan hidup 5 tahun untuk tumor ini adalah 65% jika tumor masih dalam struktur ovarium, namun tumor ini cenderung bersifat agresif dengan perluasan di luar ovarium (Kumar dkk., 2010). Rekurensinya terjadi melalui penyebaran pada permukaan peritoneum, dengan metastase pada kelenjar limfe, hepar, paru dan tulang yang lebih sering terjadi dibandingkan dengan karsinoma tipe serus (Wheeler, 2001).
       Perubahan molekuler yang mendasari patogenesisnya masih sedikit yang dapat diungkap. Analisa DNA menunjukkan mayoritas tumor memiliki daerah diploid maupun aneuploid, dimana  pola variasi seperti ini sangat jarang ditemukan pada karsinoma ovarium lainnya  (Kumar dkk., 2010).
5)        Tumor brenner/sel transisional
       Tumor brenner diklasifikasikan sebagai adenofibroma, terdiri dari matriks fibromatus hiperplastik yang mengandung sarang-sarang sel epiteloid menyerupai sel transisional pada saluran kemih. Sebagian besar (99%) tumor brenner ditemukan dalam bentuk jinak dan unilateral (90%), dengan ukuran yang bervariasi (Kumar dkk., 2010). Tumor brenner ganas merupakan area residu proliferasi tumor jinak disertai komponen karsinoma epitelial infiltratif yang ganas dengan gambaran histologis berupa sel transisional, sel skuamus, atau undifferentiated (Berek, 2007).
       Karsinoma sel transisional secara histologis ditandai dengan tidak ditemukannya komponen tumor brenner, memiliki kemiripan dengan karsinoma  primer kandung kemih, namun dengan pola imunoreaktivitas yang konsisten dengan ovarium. Karsinoma sel transisional memiliki perangai biologis yang berbeda dengan tumor Brenner ganas. Karsinoma sel transisional lebih sering terdiagnosis pada stadium yang lebih lanjut sehingga memiliki prognosis yang lebih buruk. Karsinoma ovarium yang lebih dari 50% bagiannya merupakan karsinoma sel transisional, ternyata menunjukkan sensitivitas yang lebih baik terhadap kemoterapi sehingga memiliki prognosis yang baik jika dibandingkan dengan jenis karsinoma ovarium poorly differentiated lainnya pada stadium yang sama (Berek, 2007; Schorge dkk., 2008).
2.1.3 Patofisiologi
Setiap hari, ovarium normal akan membentuk beberapa kista kecil yang disebut Folikel de Graff. Pada pertengahan siklus, folikel dominan dengan diameter lebih dari 2.8 cm akan melepaskan oosit mature. Folikel yang rupture akan menjadi korpus luteum, yang pada saat matang memiliki struktur 1,5 – 2 cm dengan kista ditengah-tengah. Bila tidak terjadi fertilisasi pada oosit, korpus luteum akan mengalami fibrosis dan pengerutan secara progresif. Namun bila terjadi fertilisasi, korpus luteum mula-mula akan membesar kemudian secara gradual akan mengecil selama kehamilan.
Kista ovari yang berasal dari proses ovulasi normal disebut kista fungsional dan selalu jinak. Kista dapat berupa folikular dan luteal yang kadang-kadang disebut kista theca-lutein. Kista tersebut dapat distimulasi oleh gonadotropin, termasuk FSH dan HCG. Kista fungsional multiple dapat terbentuk karena stimulasi gonadotropin atau sensitivitas terhadap gonadotropin yang berlebih. Pada neoplasia tropoblastik gestasional (hydatidiform mole dan choriocarcinoma) dan kadang-kadang pada kehamilan multiple dengan diabetes, HCG menyebabkan kondisi yang disebut hiperreaktif lutein. Pasien dalam terapi infertilitas, induksi ovulasi dengan menggunakan gonadotropin (FSH dan LH) atau terkadang clomiphene citrate, dapat menyebabkan sindrom hiperstimulasi ovari, terutama bila disertai dengan pemberian HCG.
Kista neoplasia dapat tumbuh dari proliferasi sel yang berlebih dan tidak terkontrol dalam ovarium serta dapat bersifat ganas atau jinak. Neoplasia yang ganas dapat berasal dari semua jenis sel dan jaringan ovarium. Sejauh ini, keganasan paling sering berasal dari epitel permukaan (mesotelium) dan sebagian besar lesi kistik parsial. Jenis kista jinak yang serupa dengan keganasan ini adalah kistadenoma serosa dan mucinous. Tumor ovari ganas yang lain dapat terdiri dari area kistik, termasuk jenis ini adalah tumor sel granulosa dari sex cord sel dan germ cel tumor dari germ sel primordial. Teratoma berasal dari tumor germ sel yang berisi elemen dari 3 lapisan germinal embrional; ektodermal, endodermal, dan mesodermal.  
Karsinogenesis merupakan proses bertahap pada tingkat genetik dan fenotip sebagai hasil dari akumulasi mutasi yang terjadi berulangkali. Kerusakan genetik merupakan mekanisme dasar dari proses karsinogenesis. Kerusakan ini dapat diakibatkan oleh faktor lingkungan, seperti bahan kimiawi, radiasi, virus, atau hasil pewarisan pada sifat germ line. Namun tidak semua mutasi diakibatkan oleh faktor lingkungan karena beberapa dapat terjadi secara spontan. Target utama dari kerusakan genetik ini adalah empat kelompok gen utama, yaitu protoonkogen yang berfungsi meningkatkan pertumbuhan dan proliferasi sel normal, yang kemudian hasil mutasinya disebut onkogen (HER2Neu,RAS,MYC,CDK1) kemudian gen lainnya adalah tumor supressor gene yang berfungsi menghambat proliferasi sel, gen yang mengatur mekanisme apoptosis, serta gen yang terlibat dalam perbaikan DNA (Stricker, 2007).
Perubahan fundamental yang terjadi dalam karsinogenesis antara lain adalah kemampuan self sufficiency terhadap sinyal pertumbuhan yaitu kemampuan sel tumor untuk berproliferasi tanpa membutuhkan sinyal pertumbuhan ataupun rangsangan dari luar, hal ini merupakan akibat dari aktivasi onkogen. Perubahan sifat lainnya adalah insensitivitas terhadap sinyal inhibitor pertumbuhan, kemampuan untuk menghindari mekanisme apoptosis sebagai akibat inaktivasi p53 maupun aktivasi gen antiapoptosis. Sel tumor juga memiliki kemampuan yang tidak terbatas untuk bereplikasi, kemampuan angiogenesis yang berlangsung terus menerus untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dan oksigen, kemampuan invasi dan metastasis, serta terjadinya defek pada gen perbaikan DNA.Perubahan lain yang juga memiliki peran penting dalam perkembangan tumor adalah  kemampuan untuk melepaskan diri dari mekanisme sistem kekebalan tubuh atau imunitas (Hanahan, 2000; Tripathy, 2003; Stricker, 2007). Keseimbangan antara mekanisme proliferasi sel dengan apoptosis atau Programmed Cell Death (PCD) akan menjaga keberlangsungan jaringan normal. Mekanisme apoptosis merupakan proses aktif yang melibatkan energi yang diawali oleh ekspresi gen-gen spesifik. Pertumbuhan tumor secara progresif diakibatkan ketidakseimbangan antara proliferasi dan kematian sel, dalam patogenesisnya sel kanker tidak hanya gagal bereaksi terhadap sinyal untuk menghentikan proliferasinya, namun juga gagal dalam menerima sinyal fisiologis untuk memulai mekanisme apoptosis. Apoptosis dipicu oleh banyak faktor antara lain sinyal intraseluler dan rangsangan eksogen seperti paparan radiasi, kemoterapi serta hormonal. Proses ini ditandai dengan perubahan-perubahan  secara histologis, biokimiawi dan biologi molekuler (Lowe, 2000;Berek,2007).
Karsinogenesis pada kanker ovarium, terutama kanker ovarium epitelial  atau karsinoma ovarium masih belum dapat diungkap secara jelas. Suatu model yang diajukan Schorge dkk. (2008) membagi tumorigenesis kanker ovarium epitelial menjadi tiga jalur utama. Jalur yang pertama merupakan hasil dari akumulasi penyimpangan genetik yang menyebabkan perubahan keganasan dari kista jinak menjadi tumor borderline atau Low Malignant Potential (LMP) dan kemudian menjadi karsinoma ovarium yang invasif. Jenis tumor invasif yang termasuk dalam jalur ini memiliki sifat pertumbuhan yang lambat dengan derajat diferensiasi yang baik.
Jalur yang kedua merupakan hasil dari sifat-sifat yang diturunkan, dengan frekuensi 5-10% dari kanker tipe epitelial. Kanker familial dengan mutasi gen BRCA muncul pada usia 15 tahun lebih awal dari jenis kanker yang bersifat sporadis. Mutasi gen BRCA menyebabkan terhentinya fungsi normal dari tumor supressor gene BRCA. Penghentian fungsi normal ini berlangsung dalam mekanisme yang lebih cepat. Kanker ovarium dan peritoneum dengan mutasi BRCA memiliki patogenesis molekuler yang khas, dimana dalam pertumbuhannya didapatkan inaktivasi gen p53. Gen p53 merupakan tumor supressor gene yang telah dipetakan pada kromosom 17. Produk proteinnya mencegah sel memasuki fase pembelahan selanjutnya dari siklus sel, sehingga mencegah replikasi sel tumor yang tidak terkontrol. Mutasi dari gen p53 ini dikaitkan dengan berbagai jenis kanker. Hilangnya fungsi normal gen BRCA dan p53 ditemukan pada tahap dini sebelum terjadinya invasi, sehingga hal ini menunjukkan peran penting gen ini dalam proses awal keganasan.
Jalur yang ketiga, merupakan mekanisme yang terjadi pada sebagian besar karsinoma,  berawal dari perubahan sel epitel permukaan ovarium pada kista inklusi yang masuk ke dalam struktur stroma ovarium. Siklus perubahan permukaan ovarium selama proses ovulasi dalam periode yang panjang dan berulang-ulang menyebabkan terjadinya proliferasi sel yang berlebihan. Mutasi p53 secara spontan yang muncul selama sintesis DNA yang menyertai proliferasi berperan penting dalam jalur ini. Terdapat pula kemungkinan terjadinya inaktivasi dini beberapa jenis gen lainnya.          
Shih dan Kurman (2007) membagi model tumorigenesis karsinoma ovarium berdasarkan profil morfologis dan genetiknya menjadi dua tipe tumorigenesis. Tipe I merupakan perkembangan tumor yang berasal dari tumor borderline dengan lesi perkursor yang telah diketahui. Tumorigenesis tipe I terjadi pada karsinoma serus berdiferensiasi baik, karsinoma musinus, kersinoma endometrioid, tumor brenner ganas, dan karsinoma clear cell. Tipe ini berhubungan dengan mutasi BRAF dan KRAS pada tipe serus, mutasi KRAS pada tipe musinus, mutasi b-catenin dan PTEN serta microsatellite instability pada tipe endometrioid. Tumorigenesis tipe II terjadi pada karsinoma serus berdiferensiasi buruk, karsinosarkoma, dan karsinoma undifferentiated. Cenderung terjadi pada tumor berdiferensiasi buruk, dengan lesi prekursor yang belum teridentifikasi, sehingga dikenal dengan perkembangan de novo. Profil genetiknya masih terbatas, namun diketahui memiliki kaitan dengan mutasi p53.
Seperti halnya pada tumor serus, patogenesis tumor musinus juga belum diketahui dengan jelas. Analisa faktor risiko belum dapat menjelaskan perbedaan tipe histologis yang ada. Beberapa penelitian menghubungkan tumor musinus dengan faktor risiko yang berbeda dengan tumor serus seperti contohnya risiko merokok. Analisa perubahan genetik tidak menunjukkan data yang memadai. Salah satu temuan yang konsisten adalah mutasi protoonkogen KRAS. Mutasinya terjadi pada 58% cystadenoma, 75-86% tumor borderline, dan 85% pada karsinoma musinus primer (Kumar dkk., 2010;Pothuri,2010).
 Etiologi dari perubahan seluler yang berperan dalam perkembangan tumor ovarium epitelial didasari oleh perubahan yang terjadi pada tingkat molekuler serta terjadinya defek yang spesifik. Hal ini menandakan bahwa perbedaan gambaran dan pola histologis yang terjadi pada kanker ovarium berhubungan dengan terjadinya defek yang berbeda-beda pada gen-gen yang mendasari setiap tipe fenotip histologisnya (Wheeler, 2001;Karst,2010).



DAFTAR PUSTAKA

Berek,J.S., Natarajan, S. 2007. Ovarian and Fallopian Tube Cancer, in: Berek & Novak’s Gynecology, 14th  Ed. California: Lippincott William & Wilkins. p.1457-1531.

Copeland, L.J. 2007. Epithelial Ovarian Cancer, in: Clinical Gynecologic Oncology, 7th Ed. Mosby Elsevier inc. p.317-371.

Hanahan, D., Weinberg, R.A. 2000. The Hallmark of Cancer Cell, 100: 57-70.

Kaku, T., Ogawa, S., Kawano, Y., Ohishi, Y., Kobayasi, H., Hirakawa, T., Nakano, H. 2003. Histological Classification of  Ovarian Cancer. Med Electron Microsc. 36: 9-17.

Karst, A.M., Drapkin, R. 2010. Ovarian Cancer Pathogenesis : A Model in Evolution. Journal of Oncology. Vol 2010. Article ID 932371, 13.

Kumar, V., Abbas, A.K., Fausto, N., Aster, J.C. 2010. Neoplasia, in: Robbin and Cotran Pathologic Basis of Disease, 8th Ed. Philadelphia: Saunders Elsevier: 269-342.

Lowe, S.C., Lin, A.W. 2000. Apoptosis in Cancer. Carcinogenesis. Oxford University Press. Vol 21 no3: 485-495.

Prawirohardjo, Sarwono. 2010. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Pothuri, B. 2010. Genetic Analysis of The Early Natural History of Epithelial Ovarian Carcinoma. PlosONE 5(4):e10358.doi:10.1371/journal.pone.0010358.

Schorge, J.O., Schaffer, J.I., Halvorson, L.M., Hoffman, B.L., Bradshaw, K.D., Cunningham, F.G. 2008. Epithelial Ovarian Cancer, Ovarian Germ Cell and Sex Cord-Stromal Tumors, in:Williams Gynecology. Texas: The McGraw-Hill Companies Inc. Section 4, Chapter 35-36.

Shih, I., Kurman, R.J. 2007. Ovarian Serous Carcinogenesis: a proposed model.in: Giordano, A., Bovicelli, A., Urman, R.J. (editor) Molecular Pathology of Gynecologic Cancer. New Jersey. Humana Press Inc. p.1511-1518.

Stricker, T.P., Kumar,V. 2007. Neoplasia, in: Robbin Basic Pathology, 8th Ed. Philadelphia: Saunders Elsevier.p.173-208.

Tripathy, D., Rubenstein, J. 2003. Neoplasia, in: McPhee, S.J., Lingapa, V.R., Ganong, W.F. (editor) Lange Pathophysiology of Disease: an Introduction to Clinical Medicine, 4th Ed. New York: McGraw-Hill Companies.p.91-112.


Wheeler, J.E. 2001. Histopathology of Ovarian Cancer, in: Rubin, S.C., Sutton,G.P. (editor) Ovarian Cancer, 2nd Ed. Lippincott Williams & Wilkins.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar