Selasa, 31 Januari 2017

MUTAGEN DAN TERATOGEN

Assalamualaikum Wr Wb

A.      MUTAGEN
1.        Pengertian Mutagen
Mutagen adalah suatu bahan yang dapat menginduksi DNA menjadi mutasi. Mutasi disini adalah perubahan susunan nukleotida pada DNA baik karena pengurangan (deletion), penambahan (insertion), maupun perpindahan atau pertukaran (translocation). Perubahan susunan nukleutida pada DNA, akan menyebabkan asam amino penyusun protein terjadi perubahan pada kodenya sehingga protein yang bersangkutan menjadi abnormal. Protein yang abnormal tersebut tentunya akan mempunyai fungsi yang abnormal pula (Sudiana, 2008).
2.        Klasifikasi Mutagen
a.        Mutagen kimia
1)        Pengertian mutagen kimia
Mutagen kimia mayoritas mampu menyusup diantara basa nitrogen sehingga dapat mengganggu proses replikasi DNA dan dapat mengubah struktur basa DNA. Mutagen kimia menyebabkan mutasi dengan cara mengubah susunan kimia kromosom.
2)        Contoh mutagen kimia
a)    Gas mustard
b)   Kafein
c)    Formaldehida
d)   Kolkisin
e)    Asam nitrat
f)    Bahan pengawet dan pestisida
g)   Nitrosamin (tembakau, ikan asin)
h)   Aflatoksin (biji-bijian) berkaitan dengan kanker hati
i)     Amin aromatik dan bahan pewarna azo, contohnya naftilamin beta (dari zat warna anilin dan industri karet)
j)     Hidrokarbon polisiklik-benz (a) antrasen (pada bahan bakar fosil)
k)   Hidrokarbon polisiklik-benz (a) piren
l)     Hidrokarbon polisiklik-epoksida (hasil pemanggangan daging, daging asap, ikan asap)
3)        Mekanisme kerja mutagen kimia
a)    Kolkisin
Kolkisin adalah senyawa alami beracun dan merupakan metabolit sekunder yang umumnya dihasilkan oleh tanaman seperti colchicum autumnale dan gloriosa superba. Senyawa tersebut pada awalnya digunakan untuk mengobati keluhan rematik, terutama asam urat serta dipakai luas dibidang biologi untuk menghasilkan sel-sel poliploid buatan, karena pemisahan set kromosom terganggu dan sel-sel memiliki set kromosom yang berlipat. Kolkisin tetap digunakan hingga kini meskipun terdapat perdebatan mengenai dosis toksisitasnya.
Kolkisin pada konsentrasi kritis tertentu akan menghalangi penyusunan mikrotubula dari benang-benang spindel pada proses anafase dan dapat menghambat pembelahan sel pada anafase.  Kolkisin merupakan inhibitor mitosis karena dapat mengikat tubulin (suatu protein), konstituen utama mikrotubula yang memainkan peran penting dalam pembentukan benang spindel pada mitosis dan pada akhirnya mengakibatkan ketidakteraturan pada mitosis. Benang-benang spindel yang tidak terbentuk pada pembelahan mitosis sel diploid menyebabkan kromosom yang telat mengganda selama interfase gagal memisah pada tahapan anafase. Hal tersebut akan menyebabkan pembelahan sel terhambat dan kromosom yang telah mengganda selama interfase gagal memisah pada tahapan anafase dan tidak mampu menuju benang spindel saat mitosis. Hal tersebut akan menyebabkan pada tahap telofase terbentuk membran nukleus yang akan menutupi kromosom DNA yang rusak tersebut dan membentuk fragmen nukleus kecil yang disebut mikronukleus gagal memisahkan diri, sehingga membentuk sel yang poliploid. Mikronukleus merupakan kromatin sitoplasmik yang tampak sebagai inti berukuran kecil.
b)   Hidrokarbon polisiklik-benz (a) piren
Benzo (a) piren adalah hidrokarbon aromatik polisiklik lima cincin yang memiliki sifat mutagenik dan sangat karsinogenik. Benzo (a) piren merupakan produk proses pembakaran yang tidak sempurna pada suhu 300-600 C. Benzo (a) piren berikatan kovalen dengan residu guanin DNA, mengganggu pengikatan hidrogen pada pasangan basa G-C, menyebabkan penyimpangan heliks.
Salmonella Typhimurium mikrosomal merupakan sistem tes untuk kegiatan mutagenik yang berhasil digunakan untuk mendeteksi keberadaan senyawa mutagenik di kondensat asap rokok. Kondensat terbukti mengandung senyawa yang bisa menyebabkan mutasi frameshift ketika diaktifkan oleh enzim mikrosomal. Sebuah analisis dari fraksi kondensat asap rokok mengungkapkan bahwa aktivitas mutagenik terdeteksi didistribusikan pada beberapa fraksi. Sebagian besar aktivitas dari seluruh kondensat dalam fraksi dasar dan disebagian kecil asam lemak. Bahan karsinogen dalam rokok dapat menembus membran sel dan berinteraksi dengan DNA, menyebabkan kerusakan basa dan mengganggu pembentukan pasangan basa yang normal. Apabila lesi DNA ini tidak dapat diperbaiki atau kurang cepat diperbaiki dapat dibentuk mutasi permanen sewaktu sel membelah diri, sebagian mutasi menyebabkan pertumbuhan sel yang abnormal dan timbullah sel kanker. 
c)    Asam nitrat (HNO3)
Asam nitrat merupakan bahan kimia mutagenik yang menyebabkan adenin (A) tidak lagi berikatan dengan timin (T) melainkan dengan sitosin (C). Hal ini disebakan karena asam nitrat bekerja dengan cara menghapus atau menghilangkan gugus amino, sehingga sitosin berubah menjadi urasil, sedangkan adenin akan berubah menjadi hiposantin.
Hiposantin memiliki ikatan hidrogen serupa dengan guanin, sedangkan urasil memiliki ikatan hidrogen serupa dengan timin. Akibatnya, pada saat replikasi DNA, adenin (A) berubah menjadi hiposantin yang akan berikatan dengan sitosin (C), sedangkan sitosin (C) akan berubah menjadi urasil dan akan berpasangan dengan adenin (A). Perubahan ini berlangsung pada lokasi yang acak pada DNA.
b.        Mutagen fisika
1)        Pengertian mutagen fisika
Mutagen berupa bahan fisika. Fisika yaitu berupa sinar gelombang pendek (sinar ultraviolet dan sinar-sinar radiasi seperti sinar alfa, beta dan gamma. Mutagen fisika ada yang dapat menimbulkan reaksi pengionan dan ada juga yang tidak.
2)        Contoh mutagen fisika
a)    Suhu
b)   Sinar ultraviolet
c)    Sinar X
d)   Sinar alfa
e)    Sinar beta
f)    Sinar gamma
g)   Neutron
h)   Radiasi sinar kosmis
3)        Mekanisme kerja mutagen fisika
a)    Sinar X
Sinar X adalah suatu gelombang elektromagnetik yang memiliki panjang gelombang sangat pendek dengan energi yang sangat besar dan memiliki daya tembus yang sangat tinggi. Sinar X juga mampu mengionisasi atom dari materi yang dilaluinya, menjadikannya sebagai salah satu bentuk dari radiasi elektromagnetik. Radiasi yang menimbulkan ionisasi dapat menembus bahan termasuk jaringan hidup, sel dan menyebabkan ionisasi molekul zat dalam sel sehingga zat-zat tersebut tidak dapat berfungsi secara normal atau bahkan menjadi rusak. Hasil eksperimen menggunakan sinar X dan UV menunjukkan bahwa frekuensi mutan meningkat seiring dengan peningkatan dosis radiasi. Dampak biologi dari radiasi itu disebabkan oleh benturan acak dengan atom dan molekul didalam sel kita yang menambahkan atau menghilangkan elektron. Dibentuklah partikel yang bermuatan listrik yang disebut ion. Sel tinggal bersama molekul abnormal menyebabkan fungsi abnormal atau kematian. Jika ADN yang terserang, hasilnya mutasi.

Gambar 1
Jenis radiasi dan penghalangnya

b)   Sinar Ultraviolet
Sinar ultraviolet memiliki energi yang dapat menyebabkan perubahan susunan gen atau kromosom. Unsur radioaktif, seperti uranium dan radium yang masuk ke dalam tubuh dapat menyebabkan terjadinya perubahan dalam gen dan kromosom. Perubahan tersebut dapat diturunkan juka terjadi pada sel-sel gonad dan tidak akan diturunkan jika terjadi pada sel somatik. Mutasi akan segera pulih kembali jika kerusakannya sedikit namun akan bersifat permanen jika kerusakannya besar. Sinar UV diserap dengan sangat kuat oleh molekul DNA. Energi dari sinar UV menyebabkan eksitasi elektron pada basa nitrogen. Ketika dua molekul timin berdekatan pada suatu urutan DNA, ikatan kovalen terbentuk diantara keduanya sehingga terbentuknya dimer timin.
Mekanisme perbaikan yang bekerja dalam setiap sel dapat menghilangkan dimer melalui penggantian basa nitrogen. Akan tetapi, apabila replikasi DNA terjadi sebelum mekanisme perbaikan DNA maka rantai DNA baru dapat mengandung dimer timin. Hal ini diperlihatkan sebaga bentuk kerusakan pada sel-sel kulit dan mendorong terbentuknya kanker kulit.
c.         Mutagen biologi
1)        Pengertian mutagen biologi
Mutagen berupa virus dan bakteri. Virus dan bakteri di duga dapat menyebabkan terjadinya mutasi. Tidak kurang dari 20 macam virus dapat menimbulkan kerusakan kromosom. Bagian dari virus yang mampu mengadakan mutasi adalah asam nukleatnya yaitu DNA.
2)        Contoh mutagen biologi
a)    Human Papilloma Virus (HPV)
b)   Virus Hepatitis B dan C
c)    Human T-Cell Leukimia (Lymphoma Virus
d)   Human Immunodeficiency Virus (HIV)
e)    Eipstein-Barr Virus (EBV)
f)    Human Herpes Virus 8 (HHV 8)
g)   Helicobacter Pylori
3)        Mekanisme mutagen biologi
a)    Human Papilloma Virus (HPV)
Human Papillomavirus (HPV) termasuk ke dalam familia Papillomaviridae, kelompok virus dengan struktur kapsid ikosahedral tak beramplop dan genom sirkuler dari DNA untai ganda. Penelitian di bidang molekular dan epidemiologi telah memperlihatkan bahwa infeksi HPV dapat menyebabkan kutil kulit, kutil kelamin, dan kanker leher rahim atau serviks. HPV diketahui memiliki 200 genotipe yang masing-masing diberi penomoran untuk membedakan satu dengan yang lainnya; meskipun secara morfologi sama, secara genetis terdapat perbedaan dari setiap genotipe HPV.
Infeksi HPV ditandai dengan perubahan morfologi dan pembelahan sel yang tak terkendali akibat percepatan proliferasi dan terhambatnya diferensiasi sel. Sifat kelainan ada yang tetap jinak dan ditandai dengan batas yang tegas dengan jaringan normal. Secara seluler, mekanisme terjadinya kanker serviks berkaitan dengan siklus sel yang diekspresikan oleh HPV. Protein utama yang terkait dengan karsinogen adalah E6 dan E7. Bentuk genom HPV sirkuler jika terintegrasi akan menjadi linear dan terpotong di antara gen E2 dan E1. Integrasi antara genom HPV dan DNA manusia menyebabkan gen E2 tidak berfungsi, jika E2 tidak berfungsi akan merangsang E6 dan E7 berikatan dengan gen p53 dan pBR. Ikatan antara E6 dan p53 akan menyebabkan p53 kehilangan fungsi sebagai gen tumor supresor yang bekerja di fase G1. Gen p53 akan menghentikan siklus sel di fase G1, tujuan penghentian siklus sel adalah agar sel dapat memperbaiki kerusakan sebelum berlanjut ke fase S.
Mekanisme kerja p53 adalah dengan menghambat kompleks cdk cyclin yang akan merangsang sel memasuki fase selanjutnya sehingga ketika E6 berikatan dengan p53 akan menyebabkan sel terus bekerja sehingga sel akan terus membelah dan menjadi abnormal. Jalur yang digunakan p53 melalui p21 yang akan melawan aktivitas kompleks cdk-cyclin, karena itu inaktivasi p21 mengakibatkan jalur regulasi p53 terganggu. Sedangkan E7 akan berikatan dengan pBR; seharusnya pBR berikatan dengan E2F. E2F adalah gen yang akan merangsang siklus sel melalui aktivasi proto-onkogen c-myc, Nmyc. Ikatan pRB-E2F menghambat gen yang mengatur sel keluar dari fase G1. Jika E2F tidak terikat akan menyebabkan E2F menstimulasi proliferasi sel. Siklus sel yang tidak terkontrol menyebabkan proliferasi sel yang melebihi batas normal sehingga sel tersebut berubah menjadi sel karsinoma
B.       TERATOGEN
1.        Pengertian Teratogen
Teratogenesis adalah kelahiran bayi yang abnormal akibat gangguan zat asing yang masuk ke dalam tubuh ibu. Studi tentang asal mula embriologis dan kuasa berbagai cacat lahir (teratogen) disebut teratologi. Teratologi merupakan bagian embriologi eksperimental yang berusaha menjelaskan hubungan sebab-akibat pada terjadinya berbagai malformasi. Salah satu aspeknya ialah penelitian semua obat baru terhadap khasiat teratogenik melalui percobaan pada hewan. Zat yang menyebabkan efek teratogenik disebut dengan teratogen.
Teratogen adalah senyawa organik maupun anorganik yang merupakan salah satu zat yang bersifat toksik (zat yang dapat merusak sistem biologis dari makhluk hidup). Teratogen bekerja selama masa perkembangan mudigah atau janin untuk menimbulkan perubahan permanen bentuk atau fungsi. Kata ini berasal dari bahasa yunani teratos, yang berarti monster. Hanya sekitar 10 persen malformasi yang teridentifikasi saat lahir disebabkan oleh teratogen. Pajanan terhadap teratogen yang sudah pasti biasanya meningkatkan kemungkinan wanita yang bersangkutan memiliki anak cacat lahir hanya 1 atau 2 persen, atau maksimal dua sampai tiga kali lipat.
Jumlah obat atau bahan yang sangat dicurigai atau terbukti teratogenik bagi manusia tidaklah banyak (tabel 1). Obat-obat baru atau jarang digunakan harus dianggap memiliki kemungkinan teratogenik dan diberikan kepada wanita hamil jika manfaatnya lebih besar daripada semua resiko teoritis.
Tabel 1. Obat yang dicurigai atau terbukti bersifat teratogenik bagi manusia
Inhibitor ACE
Aminopterin
Androgen
Busulfan
Karbamazepin
Klorbifenil
Kumarin
Siklofosfamid
Danazol
Dietilstilbestrol
Etretinat
Isotretinoin
Litium
Metimazol
Metotreksat
Penisilamin
Fenitoin
Iodium radioaktif
Tetrasiklin
Trimetadion
Asam valproat 
2.        Prinsip teratogen
Menurut Sadler (2006), faktor-faktor yang menentukan kapasitas suatu agen untuk menimbulkan cacat lahir telah didefenisikan dan diajukan sebagai prinsip teratologi. Prinsip tersebut mencakup:
a.         Kerentanan terhadap teratogenesis yang bergantung pada genotipe konseptus dan cara bagaimana komposisi genetik ini berinteraksi dengan lingkungan.
b.        Kerentanan terhadap teratogen bervariasi sesuai stadium perkembangan saat pajanan.
c.         Manifestasi gangguan perkembangan bergantung pada dosis dan lama pajanan ke teratogen.
d.        Teratogen bekerja melalui jalur (mekanisme) spesifik pada sel dan jaringan yang sedang berkembang untuk memicu kelainan embriogenesis (patogenesis).
e.         Manifestasi kelainan perkembangan adalah kematian, malformasi, retardasi pertumbuhan, dan gangguan fungsional
3.        Kerja Zat Teratogen
Menurut Sadler (2006), yaitu data yang tersedia mengenai kerja faktor teratogenik pada mamalia, beberapa prinsip dasar telah dikemukakan. Walapun masih awal untuk menyusun ini sebagai hukum. Prinsip ini harus diingat dalam mempertimbangkan kemungkinan bahwa kelainan dipengaruhi oleh faktor teratogenik tertentu yaitu:
a.         Tingkat perkembangan mudigah menentukan kepekaan terhadap faktor-faktor teratogenik
b.        Pengaruh faktor teratogenik tergantung pada genotip
c.         Zat teratogenik bekerja dengan cara khusus pada segi tertentu metabolisme sel.
Penggunaan obat pada saat perkembangan janin dapat mempengaruhi struktur janin pada saat terpapar. Mekanisme berbagai obat yang menghasilkan efek teratogenik disebabkan oleh beberapa faktor:
a.         Obat dapat bekerja langsung pada jaringan ibu dan juga secara tidak langsung mempengaruhi jaringan janin
b.        Obat mengganggu aliran oksigen atau nutrisi lewat plasenta sehingga mempengaruhi janin.
c.         Obat juga dapat memberikan efek langsung pada proses diferensiasi pada jaringan janin yang sedang berkembang.
d.        Diferensiasi zat esensial yang dibutuhkan janin juga berperan terjadinya abnormalitas.
Tipe reaksi yang timbul akibat teratogen bergantung pada tahap perkembangan pada saat pemaparan senyawa kimia yang bersangkutan. Ada 4 tahap utama gestasi pada manusia yaitu:
a.         Praimplantasi berlangsung 12 hari sejak konsepsi sampai implantasi, pada mencit betina berlangsung pada 1-4 hari.
b.        Organogenesis selama hari ke-13 sampai ke-56 kehamilan, pada mencit sekitar 6-14 hari kebuntingan
c.         Triwulan ke-2 dan triwulan ke-3 perkembangan fungsional dan pertumbuhan nyata terjadi pada gigi atau sistem saraf pusat, endokrin, genital dan sistem imun.
d.        Tahap kelahiran relatif singkat yang mengakhiri kemungkinan disebabkan oleh senyawa kimia yang dikonsumsi ibu sehingga dapat mempengaruhi fetus.
4.        Klasifikasi Teratogen
a.        Klasifikasi teratogen berdasarkan agen penyebab malformasi kongenital

Tabel 2. Teratogen yang berkaitan dengan malformasi pada manusia

TERATOGEN

MALFORMASI KONGENITAL

Agen infeksi

Virus Rubela

Katarak, glaukoma, cacat jantung, tuli, kelainan gigi

sitomegalovirus

Mikrosefalus, kebutaan, retardasi mental, kematian janin

Virus herpes simpleks

Mikroftalmia,mikrosefalus, displasia retina

Virus varisela

Hipoplasia ekstremitas, retardasi mental, atrofi otot

HIV

Mikrosefalus, retardasi pertumbuhan

Toksoplasma

Hidrosefalus, kalsifasi serebrum, mikroftalmia

Agen fisik

Sinar X

Mikrosefalus, spina bifida, langit-langit sumbing, cacat ekstremitas

Hipertermia

Anensefalus, spina bifida, retardasi mental cacat wajah, kelainan jantung,omfalokel, cacat ekstremitas

Bahan kimia

Talidomid

Cacat ekstremitas, malformasi jantung

Aminopterin

Anensefalus, hidrosefalus, bibir dan langit-langit sumbing

Difenilhidantion(fenitoin

Sindrom hidantoin janin: cacat wajah, retardasi mental

Asam valproat

Cacat tabung saraf, anomali jantung/ kraniofasial/ ekstremitas

Trimetadion

Langit-langit sumbing, cacat jantung

Litium

Malformasi jantung

Amfetamin

Bibir dan langit-langit sumbing, cacat jantung

Warfarin

Kondrodisplasia, mikrosefali

Inhibitor ACE

Retardasi pertumbuhan, kematian janin

Kokain

Retardasi pertumbuhan, mikrosefalus, kelainan perilaku,gastroskisis

Alkohol

Sindrom alkohol janin, fisura palpebra pendek, hipoplasia maksila, cacat jantung, retardasi mental

Isotretinoin (vitamin A)

Embriopati vitamin A: telinga kecil dan berbentuk abnormal, hipoplasia mandibula, langit-langit sumbing, cacat jantung

Pelarut industri

BBLR, cacat kraniofasial dan tabung saraf

Merkuri organik

Gejala neurologis, serupa dengan yang disebabkan oleh cerebral palsy

Timbal

Retardasi pertumbuhan, gangguan neurologis

Hormon

Bahan androgenik

Maskulinasi genetalia wanita: labia menyatu, hipertrofi klitoris

dietilstikbestrol

Malformasi uterus, tuba uterina dan vagina bagian atas: kanker vagina, malformasi testis

Diabetes ibu

Berbagai malformasi, tersering cacat jantung dan tabung saraf

Obesitas ibu

Cacat jantung,omfalokel.


b.        Klasifikasi teratogen berdasarkan mekanisme terpaparnya
Pemaparan janin terhadap teratogen terjadi karena bahan-bahan tersebut dapat melewati plasenta. Pemindahan suatu zat dari induk ke janin dapat terjadi melalui beberapa cara:
1)        Difusi sederhana
Pada difusi sederhana, terjadi pemindahan zat berdasar perbedaan konsentrasi yaitu dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah tanpa melibatkan energi.
2)        Difusi terfasilitasi
Difusi terfasilitas melibatkan reseptor kimia (carrier) yang terdapat pada membran sel. Carrier mengubah zat yang akan dipindahkan menjadi lebih larut dalam komponen lipid membran
3)        Transport aktif
Beberapa zat, seperti beberapa asam amino dan kation divalen, melewati plasenta dengan melawan gradien konsentrasi. Cara pemindahan dengan transport aktif memerlukan energi sehingga cara ini disebut transport aktif.
4)        Pinositosis
Mekanisme ini memungkinkan beberapa koloidal dan zat/ bahan tertentu dengan ukuran lebih kecil dari sel, mungkin juga termasuk virus, melewati plasenta.
5.        Contoh teratogen umum dan mekanisme kerjanya
a.        Alkohol
Konsumsi alkohol terutama pada trimester pertama secara berlebihan selama kehamilan menyebabkan Sindrom alkohol janin (fetal alcohol syndrome) dan disertai dengan terjadinya bibir sumbing.  fetal alcohol syndrome adalah salah satu kausa retardasi mental yang paling dikenal di Amerika Serikat. Kelainan ini terjadi pada 6 per 10.000 kelahiran dan ditandai oleh hambatan pertumbuhan, keterlambatan perkembangan dan penampakan wajah yang khas. Anak yang terkena biasanya diketahui karena kegagalan tumbuh kembang dan iritabilitas persisten. Beberapa gambaran sindrom alkohol janin bisa dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 3 Gambaran Sindrom Alkohol Janin
Hambatan pertumbuhan
Gangguan perilaku
Cacat otak
Cacat jantung
Cacat tulang belakang
Anomali kraniofasialis
Filtrum tidak ada atau hipoplastik
Bibir atas tebal
Jembatan hidung mendatar
Bibir atas hipoplastik
Mikrognatia
Mikroftalmia
Hidung pendek
Jaringan palpebra pendek

Wanita yang beresiko paling tinggi adalah mereka yang telah lama mengkonsumsi alkohol dalam jumlah besar dan mereka yang sering pesta minum-minum. Wanita alkoholik yang mengkonsumsi delapan gelas atau lebih sehari sepanjang kehamilannya memiliki resiko 30 hingga 50 persen memiliki anak dengan semua gambaran sindrom alkohol janin. Akan tetapi, cedera pada janin juga dapat terjadi akibat sekadar mengkonsumsi 1 sampai 2 gelas sehari, dan dosis ambang aman untuk pemakain alkohol selama kehamilan belum pernah diketahui.
Konsumsi alkohol pada saat hamil dikaitkan dengan berbagai kelainan perkembangan dalam otak yang menyebabkan gangguan yang menetap/permanen dalam fungsi kognitif dan motorik. Alkohol menggunakan efek neurotoksik dan teratogeniknya dengan cara meningkatkan stres oksidatif dan merusak insulin/IGF-signaling pathway dalam otak yang sedang berkembang itu. Alkohol memiliki efek inhibisi pada insulin / IGF-signaling pathway dalam otak yang sedang berkembang dan neuron yang belum matang. Sebagai contoh : alkohol merusak Ligand-receptor binding, tyrosine fosforilasi dan aktivasi dari tyrosine kinase receptor, transmisi sinyal melalui IRS (Insulin Receptor Substrate) proteins dan PI3K (Phosphatidyl Inositol3 Kinase), Akt, p21ras dan MAPKK. Sebagai akibatnya berkurangnya proliferasi sel-sel neuron, survival, migrasi, fungsi mitochondria, produksi ATP, integritas membran sel, plastisitas dan fungsi neurotransmitters.
Efek yang terpenting alkohol merusak insulin/IGF-signaling dan Ligand receptor binding dan mengaktivasi p (phosphatase) yang mengatur Tyrosine Receptor kinase secara negatif. Oleh karena itu minum alkohol pada saat hamil mengakibatkan defek yang besar di dalam insulin/IGF-signaling, dimulai pada bagian proximal dalam peristiwa cascade ini dan sebagai akibatnya menghasilkan keadaan kronis dari resisten terhadap insulin dalam sel neuron yang sedang berkembang. Alkohol bisa juga berinterferensi dengan aktivitas Growth Factors (GFs) yang mengatur proliferasi sel dan survivalnya. Kehilangan dari GF- signaling dapat juga berinterferensi dengan atau mencegah pertumbuhan dan perkembangan normal. Banyak sekali GFs diperlukan untuk pembelahan sel untuk pertumbuhan yang normal, termasuk 2 faktor yang disebut IGF-I dan IGF- 36 II. Keduanya bekerja dengan mengikat molekul protein yang disebut IGFI- Receptor yang terletak dipermukaan sel. Alkohol bisa berinterferensi dengan IGFR. Sebagai akibatnya IGF-I yang masih terikat dengan receptornya, tetapi fungsi signaling receptornya terhambat dan pembelahan sel yang dimediasi oleh IGF-I tidak dapat berlangsung. Contoh ini memperlihatkan bagaimana alkohol dapat mencegah produksi normal sel-sel SSP dengan cara berinteraksi dengan GFs yang mengatur pembelahan sel.
Alkohol juga dapat menginduksi kematian sel dengan menghambat beberapa GFs yang sudah mendukung dan mencapai fungsi akhirnya (yaitu yang sudah berdiferensiasi) dan sudah tidak lagi membelah. Sebagai contoh: IGF-I dan IGF-IR, juga berperan dalam survival sel-sel yang tidak membelah dan dapat mencegah apoptosis seperti yang diperlihatkan dalam beberapa contoh kematian sel. Mirip dengan situasi pembelahan sel yang dipaparkan di atas, alkohol dapat menghambat IGF-IR dalam sel-sel yang tidak membelah, karenanya mencegah survival dari sel-sel tersebut.
b.        Inhibitor Angiotensin Converting Enzyme (ACE)
Inhibitor ACE merupakan obat yang digunakan untuk mengobati hipertensi dengan mencegah tubuh membuat hormone angiotensin II,  hormon ini menyebabkan pembuluh darah menyempit, yang dapat menaikkan tekanan darah. ACE inhibitor membiarkan pembuluh darah melebar dan membiarkan lebih banyak darah mengalir ke jantung, sehingga menurunkan tekanan darah. Inhibitor ACE bukan teratogen sejati, karena belum pernah ada laporan terjadinya kelainan struktural pada bayi yang terpajan selama trimester pertama. Akan tetapi, terdapat banyak laporan kerusakan akibat pemajanan pada periode janin selanjutnya. Konsekuensi paling parah adalah disgenesis tubulus ginjal yang menyebabkan oligohidramnion awitan dini, hipoplasia paru dan kontraktur ekstremitas dan kematian perinatal. Hipokalvaria hipoplasia tulang membranosa tengkorak berkaitan erat dengan pajanan terhadap inhibitor ACE. Semua kelainan ini diperkirakan terjadi akibat hipotensi dan hipoperfusi janin yang berkepanjangan akibat mekanisme kerja dari inhibitor ACE yaitu melebarkan pembuluh darah sehingga terjadi hiotensi, Penurunan perfusi juga menyebabkan hambatan pertumbuhan. Karena terjadi selama masa janin, perubahan-perubahan ini disebut fetopati inhibitor ACE. Ini bukan merupakan suatu sindrom, tetapi contoh klasik suatu sekuensi yaitu satu gangguan awal memicu serangkaian gangguan lainnya.
c.         Obat anti kejang
Pemakaian anti kejang berkaitan langsung dengan efek samping pada bayi, dengan resiko meningkat sesuai dengan jumlah obat. Malformasi yang paling sering dilaporkan adalah sumbing orofasial, cacat jantung, cacat neural tube dan keterlambatan perkembangan, dengan angka mal formasi keseluruhan adalah sekitar 7 persen. Karena kebutuhan terhadap terapi obat, kadar serum yang tinggi dan pemberian banyak obat juga mencerminkan keparahan penyakit pada ibu, ada kemungkinan bahwa sebagian dari peningkatan resiko tersebut berkaitan dengan penyakit epilepsi itu sendiri.
Sindrom hidantoin janin ditemukan pada 7 hingga 10 persen bayi yang terpajan fenitoin in utero dan ditandai oleh cacat kraniofasialis, kelainan ekstremitas tubuh, dan defisiensi mental. Pola malformasi serupa ditemukan pada bayi yang terpajan karbamazepin (tegretol). Pajanan terhadap asam valproat (Depakene) pad trimester pertama dilaporkan berkaitan dengan 1 hingga 2 persen resiko terjadinya spina bifida yaitu 20 kali dari pada angka latar.
Tabel 4 Beberapa aspek embriopati akibat antikejang
Sindrom hidantoin
Sindrom karbamazepin
Kelainan kraniofasialis
Sumbing bibir/ langit-langit
Jembatan hidung lebar
Hipertelorisme
Lipatan epikantus
Cacat ekstremitas
Hipoplasia falang distal, kuku
Defisiensi pertumbuhan
Defisiensi mental
Kelainan kraniofasialis
Jaringan palpebra sipit
Hidung pendek
Lipatan epikantus
Cacat ekstremitas
Hipoplasia falang distal, kuku
Defisiensi pertumbuhan
Defisiensi menta
Hipotesa mekanisme terjadinya teratogenisitas obat anti epilepsi adalah:
1)        Metabolisme obat anti epilepsi terjadi melalui komponen arene oksid atau epoksid, yang sebagian besar merupakan komponen reaktif yang bersifat teratogenik.
2)        Kelainan genetik yang disebabkan oleh hidrolase epoksid meningkatkan resiko terhadap toksisitas fetus, atau alternatif lain.
3)        Radikal bebas yang dihasilkan dari metabolisme obat anti epilepsi danbersifat sitotoksik.
4)        Kelainan genetik yang disebabkan oleh “free radical scavenging activity” meningkatkan resiko terhadap toksisitas fetus.
d.        Retinoid
Retinoid adalah suatu kelompok senyawa alami dan sintetik yang secara struktural dan fungsional analog dengan vitamin A. Retinoid merupakan substansi esensial untuk pertumbuhan normal, diferensiasi jaringan, reproduksi dan penglihatan. Teratogenik merupakan efek samping paling serius pemakaian retinoid. Pemberian retinoid pada awal kehamilan (terutama 3 minggu pertama kehamilan) dapat menyebabkan abnormalitas fetus, antara lain pada kraniofasial, sistem saraf pusat, dan jantung sehingga penting mencegah kehamilan pada wanita usia subur sebelum memulai terapi.
Beberapa laporan kasus dan penelitian skala kecil mengaitkan vitamin A dosis tinggi dengan anomali kongenital. Isotretinoin (Accutane), suatu terapi yang sangat manjur untuk akne kistik, dianggap salah satu teratogen paling poten yang digunakan secara umum. Pajanan pada trimester pertama dilaporkan menyebabkan tingginya angka kematian janin dan malformasi yang mengenai kranium, wajah, jantung, sistem saraf pusat dan timus. Malformasi kraniofasialis mencakup mikrotia atau anotia, gangguan perkembangan tulang wajah dan kranium dan sumbing langit-langit. Kelainan dilaporkan hanya  berkaitan dengan pemakaian pada trimester pertama dan tidak meningkat pada wanita yang menghentikan terapi ini sebelum konsepsi. Etretinat (Tegison), yang digunakan untuk mengobati psoriasis, dilaporkan menyebabkan anomali berat serupa dengan yang dijumpai pada pemberian isotretinoin. Etretinat memiliki waktu paruh 120 hari dan masih dapat dideteksi dalam serum hampir 3 tahun setelah penghentian obat. Jika pemakaian etretinat tidak dapat dihindari maka dianjurkan wanita yang bersangkutan menunggu paling sedikit 2 tahun setelah terapi dihentikan sebelum hamil. Tretinoin (Retin A) merupakan gel topikal yang digunakan untuk mengobati akne vulgaris. Kulit memetabolisasi sebagian besar obat tanpa menyerapnya secara bermakna dan belum pernah dilaporkan adanya peningkatan malformasi kongenital.
Mekanisme kerja molekuler retioid yaitu Retinoid mempengaruhi pertumbuhan dan diferensiasi sel epitel dan sel lain, menghambat perkembangan sel tumor atau keganasan pada proses karsinogenesis, mempengaruhi proses inflamasi dan sistem imun, serta mengubah perlekatan seluler. Dalam kondisi normal, hampir semua efek vitamin A pada kulit diperantarai oleh ATRA. Pada inti sel, terbentuk kompleks ikatan retinoid dengan protein reseptor RARs dan RXRs. Reseptor tersebut bertindak sebagai ligand-dependent transcriptional factors (misalnya RARs dapat berikatan dengan ATRA dan 9-cis-retinoid acid dengan afinitas yang tinggi, sementara RXRs berinteraksi secara selektif dengan 9-cis retinoid acid) dan berikatan dengan retinoid dalam bentuk dimer, yaitu dapat sebagai homodimer (RARs/RARs, RXRs/RXRs) atau heterodimer (RARs/RXRs). Ikatan heterodimer memperlihatkan efisiensi ikatan lebih tinggi dibandingkan dengan reseptor homodimer. Dimer kompleks retinoid dan reseptor mengaktivasi gen yang memiliki sekuen DNA pendek spesifik yang disebut dengan retinoid acid-responsive elements (RAREs dan RXREs), kemudian gen tersebut mengalami transkripsi dan translasi.
e.         Penggunaan antibiotika
Penggunaan antibiotika pada kehamilan bisa dengan tujuan terapi ataupun profilaksis. Pemilihan jenis antibiotika yang akan diberikan pada ibu hamil seharusnya didasarkan atas uji kepekaan di laboratorium untuk menentukan secara tepat jenis antibotika yang diperlukan dengan mempertimbangkan pula efek toksik terhadap ibu maupun efek teratogenik terhadap janin dalam rahim. Selain itu penentuan dosis antibiotika juga harus mempertimbangkan perubahan farmakokinetik yang sesuai dengan perubahan fisiologik pada ibu hamil. Kondisi fisiologik ibu hamil akan sangat menentukan apakah sebaiknya obat yang diberikan peroral atau parenteral dan dosis yang diberikan lebih tinggi atau sama dengan ibu yang tidak hamil. Barier plasenta merupakan salah satu perlindungan agar janin seminimal mungkin mendapatkan efek samping obat. Dalam hal ini harus dipertimbangkan usia hamil saat mendapatkan antibiotika, oleh karena pada fase embrio (2-8 minggu) barier plasenta ini sangat lemah (masa kritis) dan meningkat sampai pada puncaknya pada waktu janin usia 21-28 minggu, setelah itu akan menurun lagi sampai aterm.
Mekanisme kerja obat anti infeksi terhadap mikroorganisme dapat berupa: Menghambat sintesa metabolit-metabolit yang esensial, protein dan asam nukleat, Menghambat sintesa dinding sel atau membran plasma, Merusak dinding sel atau membran plasma. Dilihat dari mekanisme kerjanya maka antibiotika ini dapat mempunyai efek:
1)        Bactericidal, bila menyebabkan sel mikroorganisme tersebut mati oleh karena efek obat yang merubah, menghambat atau merusak sel mikroorganisme.
2)        Bacteriostatic, bisa menyebabkan pertumbuhan mikroorganisme terhenti oleh karena ada hambatan terhadap metabolisme mikroorganisme. Obat-obat ini sebagian dalam bentuk terikat dengan protein (protein binding) atau mengalami proses metabolisme sehingga terbentuk metabolit-metabolit yang tidak dapat menembus barier plasenta. Sebagian lagi dalam bentuk bebas tidak terikat dengan protein dan tidak mengalami metabolisme, bentuk ini yang mampu menembus barier plasenta.

DAFTAR PUSTAKA

Depkes RI. 2006. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Hipertensi. Jakarta: Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat kesehatan Departemen Kesehatan.

Gondo, Harry Kurniawan. 2007. Penggunaan Antibiotika pada kehamilan Wijaya Kusuma Volume 1 Nomor 1 Januari 2007, 57-62. Bali: Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma.

Japardi, Iskandar. 2002. Epilepsi pada Kehamilan. Sumatera Utara: Fakultas Kedokteran Bagian Bedah Universitas Sumatera Utara.

Karlinah, Nelly dkk. 2015. Bahan Ajar Embriologi Manusia. Yogyakarta: Deepublish.

Karmana, Oman. 2008. Biologi untuk Kelas XII Semester ! Sekolah Menengah Atas 3A. Bandung: Gravindo Media Pratama.

Larry D. Kier, Edith Yamasaki, and Bruce N. Ames. 1974. Detection of Mutagenic Activity in Cigarette Smoke Condensates (carcinogenesis/ Salmonella tester strains/microsomal activation). Proc. Nat. Acad. Sci. USA Vol 71, No. 10, pp. 4159-4163.

Leveno, Kenneth J et al. 2004. Obstetri Williams Panduan Ringkas Edisi 21. Jakarta: EGC.

Lorente, Christine et al. 2000. Tobacco and Alkohol Use During Pregnancy and Risk of Oral Clefts. American jurnal of Public Health March 2000, Vol 90  No 3.

Marks, Dawn B, et al. 2000. Biokimia Kedokteran Dasar Sebuah Pendekatan Klinis. Jakarta: EGC.

Nurmaulida dwi puri. 2015. Laporan Praktikum Toksikologi Lingkungan tentang Uji Genotoksisitas Menggunakan Tes Mikronukleus pada Sumsum Tulang dan Darah Dari Peredaran Perifer Akibat Pendedahan Kolkisin pada Mencit (Mus musculus) Secara Intraperitonel. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.

Raflis, Yeny dan Sri Lestari. 2011. Pemakaian Retinoid Sistemik di Bidang Dermatologi Vol 38 No 3 Tahun 2011: 134-140. Padang: Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK Universitas Andalas.

Sudiana, I Ketut. 2008. Patobiologi Molekuler Kanker. Jakarta: Salemba Medika.