Assalamualaikum Wr Wb
A.
MUTAGEN
1.
Pengertian Mutagen
Mutagen
adalah suatu bahan yang dapat menginduksi DNA menjadi mutasi. Mutasi disini
adalah perubahan susunan nukleotida pada DNA baik karena pengurangan (deletion),
penambahan (insertion), maupun perpindahan atau pertukaran (translocation).
Perubahan susunan nukleutida pada DNA, akan menyebabkan asam amino penyusun
protein terjadi perubahan pada kodenya sehingga protein yang bersangkutan
menjadi abnormal. Protein yang abnormal tersebut tentunya akan mempunyai fungsi
yang abnormal pula (Sudiana, 2008).
2.
Klasifikasi Mutagen
a.
Mutagen kimia
1)
Pengertian mutagen kimia
Mutagen
kimia mayoritas mampu menyusup diantara basa nitrogen sehingga dapat mengganggu
proses replikasi DNA dan dapat mengubah struktur basa DNA. Mutagen kimia
menyebabkan mutasi dengan cara mengubah susunan kimia kromosom.
2)
Contoh mutagen kimia
a)
Gas
mustard
b)
Kafein
c)
Formaldehida
d)
Kolkisin
e)
Asam
nitrat
f)
Bahan
pengawet dan pestisida
g)
Nitrosamin
(tembakau, ikan asin)
h)
Aflatoksin
(biji-bijian) berkaitan dengan kanker hati
i)
Amin
aromatik dan bahan pewarna azo, contohnya naftilamin beta (dari zat warna
anilin dan industri karet)
j)
Hidrokarbon
polisiklik-benz (a) antrasen (pada bahan bakar fosil)
k)
Hidrokarbon
polisiklik-benz (a) piren
l)
Hidrokarbon
polisiklik-epoksida (hasil pemanggangan daging, daging asap, ikan asap)
3)
Mekanisme kerja mutagen kimia
a)
Kolkisin
Kolkisin
adalah senyawa alami beracun dan merupakan metabolit sekunder yang umumnya
dihasilkan oleh tanaman seperti colchicum autumnale dan gloriosa
superba. Senyawa tersebut pada awalnya digunakan untuk mengobati keluhan
rematik, terutama asam urat serta dipakai luas dibidang biologi untuk
menghasilkan sel-sel poliploid buatan, karena pemisahan set kromosom terganggu
dan sel-sel memiliki set kromosom yang berlipat. Kolkisin tetap digunakan
hingga kini meskipun terdapat perdebatan mengenai dosis toksisitasnya.
Kolkisin
pada konsentrasi kritis tertentu akan menghalangi penyusunan mikrotubula dari
benang-benang spindel pada proses anafase dan dapat menghambat pembelahan sel
pada anafase. Kolkisin merupakan
inhibitor mitosis karena dapat mengikat tubulin (suatu protein), konstituen
utama mikrotubula yang memainkan peran penting dalam pembentukan benang spindel
pada mitosis dan pada akhirnya mengakibatkan ketidakteraturan pada mitosis.
Benang-benang spindel yang tidak terbentuk pada pembelahan mitosis sel diploid
menyebabkan kromosom yang telat mengganda selama interfase gagal memisah pada
tahapan anafase. Hal tersebut akan menyebabkan pembelahan sel terhambat dan
kromosom yang telah mengganda selama interfase gagal memisah pada tahapan
anafase dan tidak mampu menuju benang spindel saat mitosis. Hal tersebut akan
menyebabkan pada tahap telofase terbentuk membran nukleus yang akan menutupi
kromosom DNA yang rusak tersebut dan membentuk fragmen nukleus kecil yang
disebut mikronukleus gagal memisahkan diri, sehingga membentuk sel yang
poliploid. Mikronukleus merupakan kromatin sitoplasmik yang tampak sebagai inti
berukuran kecil.
b)
Hidrokarbon
polisiklik-benz (a) piren
Benzo
(a) piren adalah hidrokarbon aromatik polisiklik lima cincin yang memiliki
sifat mutagenik dan sangat karsinogenik. Benzo (a) piren merupakan produk
proses pembakaran yang tidak sempurna pada suhu 300-600 C. Benzo (a) piren
berikatan kovalen dengan residu guanin DNA, mengganggu pengikatan hidrogen pada
pasangan basa G-C, menyebabkan penyimpangan heliks.
Salmonella
Typhimurium mikrosomal merupakan sistem tes untuk kegiatan mutagenik yang
berhasil digunakan untuk mendeteksi keberadaan senyawa mutagenik di kondensat
asap rokok. Kondensat terbukti mengandung senyawa yang bisa menyebabkan mutasi
frameshift ketika diaktifkan oleh enzim mikrosomal. Sebuah analisis dari fraksi
kondensat asap rokok mengungkapkan bahwa aktivitas mutagenik terdeteksi
didistribusikan pada beberapa fraksi. Sebagian besar aktivitas dari seluruh
kondensat dalam fraksi dasar dan disebagian kecil asam lemak. Bahan karsinogen
dalam rokok dapat menembus membran sel dan berinteraksi dengan DNA, menyebabkan
kerusakan basa dan mengganggu pembentukan pasangan basa yang normal. Apabila
lesi DNA ini tidak dapat diperbaiki atau kurang cepat diperbaiki dapat dibentuk
mutasi permanen sewaktu sel membelah diri, sebagian mutasi menyebabkan
pertumbuhan sel yang abnormal dan timbullah sel kanker.
c)
Asam
nitrat (HNO3)
Asam
nitrat merupakan bahan kimia mutagenik yang menyebabkan adenin (A) tidak lagi
berikatan dengan timin (T) melainkan dengan sitosin (C). Hal ini disebakan
karena asam nitrat bekerja dengan cara menghapus atau menghilangkan gugus
amino, sehingga sitosin berubah menjadi urasil, sedangkan adenin akan berubah
menjadi hiposantin.
Hiposantin
memiliki ikatan hidrogen serupa dengan guanin, sedangkan urasil memiliki ikatan
hidrogen serupa dengan timin. Akibatnya, pada saat replikasi DNA, adenin (A)
berubah menjadi hiposantin yang akan berikatan dengan sitosin (C), sedangkan
sitosin (C) akan berubah menjadi urasil dan akan berpasangan dengan adenin (A).
Perubahan ini berlangsung pada lokasi yang acak pada DNA.
b.
Mutagen fisika
1)
Pengertian mutagen fisika
Mutagen
berupa bahan fisika. Fisika yaitu berupa sinar gelombang pendek (sinar
ultraviolet dan sinar-sinar radiasi seperti sinar alfa, beta dan gamma. Mutagen
fisika ada yang dapat menimbulkan reaksi pengionan dan ada juga yang tidak.
2)
Contoh mutagen fisika
a)
Suhu
b)
Sinar
ultraviolet
c)
Sinar
X
d)
Sinar
alfa
e)
Sinar
beta
f)
Sinar
gamma
g)
Neutron
h)
Radiasi
sinar kosmis
3)
Mekanisme kerja mutagen fisika
a)
Sinar
X
Sinar
X adalah suatu gelombang elektromagnetik yang memiliki panjang gelombang sangat
pendek dengan energi yang sangat besar dan memiliki daya tembus yang sangat
tinggi. Sinar X juga mampu mengionisasi atom dari materi yang dilaluinya,
menjadikannya sebagai salah satu bentuk dari radiasi elektromagnetik. Radiasi
yang menimbulkan ionisasi dapat menembus bahan termasuk jaringan hidup, sel dan
menyebabkan ionisasi molekul zat dalam sel sehingga zat-zat tersebut tidak
dapat berfungsi secara normal atau bahkan menjadi rusak. Hasil eksperimen
menggunakan sinar X dan UV menunjukkan bahwa frekuensi mutan meningkat seiring
dengan peningkatan dosis radiasi. Dampak biologi dari radiasi itu disebabkan
oleh benturan acak dengan atom dan molekul didalam sel kita yang menambahkan
atau menghilangkan elektron. Dibentuklah partikel yang bermuatan listrik yang
disebut ion. Sel tinggal bersama molekul abnormal menyebabkan fungsi abnormal
atau kematian. Jika ADN yang terserang, hasilnya mutasi.
Gambar 1
Jenis
radiasi dan penghalangnya
b)
Sinar
Ultraviolet
Sinar
ultraviolet memiliki energi yang dapat menyebabkan perubahan susunan gen atau
kromosom. Unsur radioaktif, seperti uranium dan radium yang masuk ke dalam
tubuh dapat menyebabkan terjadinya perubahan dalam gen dan kromosom. Perubahan
tersebut dapat diturunkan juka terjadi pada sel-sel gonad dan tidak akan
diturunkan jika terjadi pada sel somatik. Mutasi akan segera pulih kembali jika
kerusakannya sedikit namun akan bersifat permanen jika kerusakannya besar. Sinar
UV diserap dengan sangat kuat oleh molekul DNA. Energi dari sinar UV
menyebabkan eksitasi elektron pada basa nitrogen. Ketika dua molekul timin
berdekatan pada suatu urutan DNA, ikatan kovalen terbentuk diantara keduanya
sehingga terbentuknya dimer timin.
Mekanisme
perbaikan yang bekerja dalam setiap sel dapat menghilangkan dimer melalui
penggantian basa nitrogen. Akan tetapi, apabila replikasi DNA terjadi sebelum
mekanisme perbaikan DNA maka rantai DNA baru dapat mengandung dimer timin. Hal
ini diperlihatkan sebaga bentuk kerusakan pada sel-sel kulit dan mendorong
terbentuknya kanker kulit.
c.
Mutagen biologi
1)
Pengertian mutagen biologi
Mutagen
berupa virus dan bakteri. Virus dan bakteri di duga dapat menyebabkan
terjadinya mutasi. Tidak kurang dari 20 macam virus dapat menimbulkan kerusakan
kromosom. Bagian dari virus yang mampu mengadakan mutasi adalah asam nukleatnya
yaitu DNA.
2)
Contoh mutagen biologi
a)
Human
Papilloma Virus (HPV)
b)
Virus
Hepatitis B dan C
c)
Human
T-Cell Leukimia (Lymphoma Virus
d)
Human
Immunodeficiency Virus (HIV)
e)
Eipstein-Barr
Virus (EBV)
f)
Human
Herpes Virus 8 (HHV 8)
g)
Helicobacter
Pylori
3)
Mekanisme mutagen biologi
a)
Human
Papilloma Virus (HPV)
Human
Papillomavirus (HPV) termasuk ke dalam familia Papillomaviridae, kelompok virus dengan struktur kapsid
ikosahedral tak beramplop dan genom sirkuler dari DNA untai ganda. Penelitian
di bidang molekular dan epidemiologi telah memperlihatkan bahwa infeksi HPV
dapat menyebabkan kutil kulit, kutil kelamin, dan kanker leher rahim atau
serviks. HPV diketahui memiliki 200 genotipe yang masing-masing diberi penomoran
untuk membedakan satu dengan yang lainnya; meskipun secara morfologi sama,
secara genetis terdapat perbedaan dari setiap genotipe HPV.
Infeksi HPV ditandai dengan perubahan morfologi
dan pembelahan sel yang tak terkendali akibat percepatan proliferasi dan
terhambatnya diferensiasi sel. Sifat kelainan ada yang tetap jinak dan ditandai
dengan batas yang tegas dengan jaringan normal. Secara
seluler, mekanisme terjadinya kanker serviks
berkaitan dengan siklus sel yang diekspresikan
oleh HPV. Protein utama yang terkait dengan
karsinogen adalah E6 dan E7. Bentuk genom HPV
sirkuler jika terintegrasi akan menjadi linear
dan terpotong di antara gen E2 dan E1.
Integrasi antara genom HPV dan DNA manusia
menyebabkan gen E2 tidak berfungsi, jika E2
tidak berfungsi akan merangsang E6 dan E7
berikatan dengan gen p53 dan pBR. Ikatan
antara E6 dan p53 akan menyebabkan p53
kehilangan fungsi sebagai gen tumor supresor
yang bekerja di fase G1. Gen p53 akan
menghentikan siklus sel di fase G1, tujuan
penghentian siklus sel adalah agar sel dapat
memperbaiki kerusakan sebelum berlanjut ke
fase S.
Mekanisme kerja p53 adalah dengan menghambat kompleks cdk cyclin yang akan merangsang sel memasuki fase selanjutnya sehingga ketika E6 berikatan dengan p53 akan menyebabkan sel terus bekerja sehingga sel akan terus membelah dan menjadi abnormal. Jalur yang digunakan p53 melalui p21 yang akan melawan aktivitas kompleks cdk-cyclin, karena itu inaktivasi p21
mengakibatkan jalur regulasi p53 terganggu. Sedangkan E7 akan berikatan dengan pBR; seharusnya pBR berikatan dengan E2F. E2F adalah gen yang akan merangsang siklus sel melalui aktivasi proto-onkogen c-myc, Nmyc. Ikatan
pRB-E2F menghambat gen yang mengatur sel
keluar dari fase G1. Jika E2F tidak terikat
akan menyebabkan E2F menstimulasi proliferasi
sel. Siklus sel yang tidak terkontrol menyebabkan
proliferasi sel yang melebihi batas normal
sehingga sel tersebut berubah menjadi sel
karsinoma
B.
TERATOGEN
1.
Pengertian Teratogen
Teratogenesis
adalah kelahiran bayi yang abnormal akibat gangguan zat asing yang masuk ke
dalam tubuh ibu. Studi tentang asal mula embriologis dan kuasa berbagai cacat
lahir (teratogen) disebut teratologi. Teratologi merupakan bagian embriologi
eksperimental yang berusaha menjelaskan hubungan sebab-akibat pada terjadinya
berbagai malformasi. Salah satu aspeknya ialah penelitian semua obat baru
terhadap khasiat teratogenik melalui percobaan pada hewan. Zat yang menyebabkan
efek teratogenik disebut dengan teratogen.
Teratogen
adalah senyawa organik maupun anorganik yang merupakan salah satu zat yang
bersifat toksik (zat yang dapat merusak sistem biologis dari makhluk hidup).
Teratogen bekerja selama masa perkembangan mudigah atau janin untuk menimbulkan
perubahan permanen bentuk atau fungsi. Kata ini berasal dari bahasa yunani
teratos, yang berarti monster. Hanya sekitar 10 persen malformasi yang
teridentifikasi saat lahir disebabkan oleh teratogen. Pajanan terhadap teratogen
yang sudah pasti biasanya meningkatkan kemungkinan wanita yang bersangkutan
memiliki anak cacat lahir hanya 1 atau 2 persen, atau maksimal dua sampai tiga
kali lipat.
Jumlah
obat atau bahan yang sangat dicurigai atau terbukti teratogenik bagi manusia tidaklah
banyak (tabel 1). Obat-obat baru atau jarang digunakan harus dianggap memiliki
kemungkinan teratogenik dan diberikan kepada wanita hamil jika manfaatnya lebih
besar daripada semua resiko teoritis.
Tabel 1. Obat yang dicurigai atau terbukti bersifat teratogenik
bagi manusia
Inhibitor ACE
Aminopterin
Androgen
Busulfan
Karbamazepin
Klorbifenil
Kumarin
Siklofosfamid
Danazol
Dietilstilbestrol
|
Etretinat
Isotretinoin
Litium
Metimazol
Metotreksat
Penisilamin
Fenitoin
Iodium radioaktif
Tetrasiklin
Trimetadion
Asam valproat
|
2.
Prinsip teratogen
Menurut
Sadler (2006), faktor-faktor yang menentukan kapasitas suatu agen untuk
menimbulkan cacat lahir telah didefenisikan dan diajukan sebagai prinsip
teratologi. Prinsip tersebut mencakup:
a.
Kerentanan
terhadap teratogenesis yang bergantung pada genotipe konseptus dan cara
bagaimana komposisi genetik ini berinteraksi dengan lingkungan.
b.
Kerentanan
terhadap teratogen bervariasi sesuai stadium perkembangan saat pajanan.
c.
Manifestasi
gangguan perkembangan bergantung pada dosis dan lama pajanan ke teratogen.
d.
Teratogen
bekerja melalui jalur (mekanisme) spesifik pada sel dan jaringan yang sedang
berkembang untuk memicu kelainan embriogenesis (patogenesis).
e.
Manifestasi
kelainan perkembangan adalah kematian, malformasi, retardasi pertumbuhan, dan
gangguan fungsional
3.
Kerja Zat Teratogen
Menurut
Sadler (2006), yaitu data yang tersedia mengenai kerja faktor teratogenik pada
mamalia, beberapa prinsip dasar telah dikemukakan. Walapun masih awal untuk
menyusun ini sebagai hukum. Prinsip ini harus diingat dalam mempertimbangkan
kemungkinan bahwa kelainan dipengaruhi oleh faktor teratogenik tertentu yaitu:
a.
Tingkat
perkembangan mudigah menentukan kepekaan terhadap faktor-faktor teratogenik
b.
Pengaruh
faktor teratogenik tergantung pada genotip
c.
Zat
teratogenik bekerja dengan cara khusus pada segi tertentu metabolisme sel.
Penggunaan
obat pada saat perkembangan janin dapat mempengaruhi struktur janin pada saat
terpapar. Mekanisme berbagai obat yang menghasilkan efek teratogenik disebabkan
oleh beberapa faktor:
a.
Obat
dapat bekerja langsung pada jaringan ibu dan juga secara tidak langsung
mempengaruhi jaringan janin
b.
Obat
mengganggu aliran oksigen atau nutrisi lewat plasenta sehingga mempengaruhi
janin.
c.
Obat
juga dapat memberikan efek langsung pada proses diferensiasi pada jaringan
janin yang sedang berkembang.
d.
Diferensiasi
zat esensial yang dibutuhkan janin juga berperan terjadinya abnormalitas.
Tipe
reaksi yang timbul akibat teratogen bergantung pada tahap perkembangan pada
saat pemaparan senyawa kimia yang bersangkutan. Ada 4 tahap utama gestasi pada
manusia yaitu:
a.
Praimplantasi
berlangsung 12 hari sejak konsepsi sampai implantasi, pada mencit betina
berlangsung pada 1-4 hari.
b.
Organogenesis
selama hari ke-13 sampai ke-56 kehamilan, pada mencit sekitar 6-14 hari
kebuntingan
c.
Triwulan
ke-2 dan triwulan ke-3 perkembangan fungsional dan pertumbuhan nyata terjadi
pada gigi atau sistem saraf pusat, endokrin, genital dan sistem imun.
d.
Tahap
kelahiran relatif singkat yang mengakhiri kemungkinan disebabkan oleh senyawa
kimia yang dikonsumsi ibu sehingga dapat mempengaruhi fetus.
4.
Klasifikasi Teratogen
a.
Klasifikasi teratogen berdasarkan agen penyebab malformasi
kongenital
Tabel 2.
Teratogen yang berkaitan dengan malformasi pada manusia
TERATOGEN
|
MALFORMASI KONGENITAL
|
Agen infeksi
|
|
Virus Rubela
|
Katarak, glaukoma, cacat jantung, tuli,
kelainan gigi
|
sitomegalovirus
|
Mikrosefalus, kebutaan, retardasi
mental, kematian janin
|
Virus herpes simpleks
|
Mikroftalmia,mikrosefalus, displasia
retina
|
Virus varisela
|
Hipoplasia ekstremitas, retardasi
mental, atrofi otot
|
HIV
|
Mikrosefalus, retardasi pertumbuhan
|
Toksoplasma
|
Hidrosefalus, kalsifasi serebrum,
mikroftalmia
|
Agen fisik
|
|
Sinar X
|
Mikrosefalus, spina bifida,
langit-langit sumbing, cacat ekstremitas
|
Hipertermia
|
Anensefalus, spina bifida, retardasi
mental cacat wajah, kelainan jantung,omfalokel, cacat ekstremitas
|
Bahan kimia
|
|
Talidomid
|
Cacat ekstremitas, malformasi jantung
|
Aminopterin
|
Anensefalus, hidrosefalus, bibir dan
langit-langit sumbing
|
Difenilhidantion(fenitoin
|
Sindrom hidantoin janin: cacat wajah,
retardasi mental
|
Asam valproat
|
Cacat tabung saraf, anomali jantung/
kraniofasial/ ekstremitas
|
Trimetadion
|
Langit-langit sumbing, cacat jantung
|
Litium
|
Malformasi jantung
|
Amfetamin
|
Bibir dan langit-langit sumbing, cacat
jantung
|
Warfarin
|
Kondrodisplasia, mikrosefali
|
Inhibitor ACE
|
Retardasi pertumbuhan, kematian janin
|
Kokain
|
Retardasi pertumbuhan, mikrosefalus,
kelainan perilaku,gastroskisis
|
Alkohol
|
Sindrom alkohol janin, fisura palpebra
pendek, hipoplasia maksila, cacat jantung, retardasi mental
|
Isotretinoin (vitamin A)
|
Embriopati vitamin A: telinga kecil dan
berbentuk abnormal, hipoplasia mandibula, langit-langit sumbing, cacat
jantung
|
Pelarut industri
|
BBLR, cacat kraniofasial dan tabung
saraf
|
Merkuri organik
|
Gejala neurologis, serupa dengan yang
disebabkan oleh cerebral palsy
|
Timbal
|
Retardasi pertumbuhan, gangguan
neurologis
|
Hormon
|
|
Bahan androgenik
|
Maskulinasi genetalia wanita: labia
menyatu, hipertrofi klitoris
|
dietilstikbestrol
|
Malformasi uterus, tuba uterina dan
vagina bagian atas: kanker vagina, malformasi testis
|
Diabetes ibu
|
Berbagai malformasi, tersering cacat
jantung dan tabung saraf
|
Obesitas ibu
|
Cacat jantung,omfalokel.
|
b.
Klasifikasi teratogen berdasarkan mekanisme terpaparnya
Pemaparan
janin terhadap teratogen terjadi karena bahan-bahan tersebut dapat melewati
plasenta. Pemindahan suatu zat dari induk ke janin dapat terjadi melalui
beberapa cara:
1)
Difusi
sederhana
Pada
difusi sederhana, terjadi pemindahan zat berdasar perbedaan konsentrasi yaitu
dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah tanpa melibatkan energi.
2)
Difusi
terfasilitasi
Difusi
terfasilitas melibatkan reseptor kimia (carrier) yang terdapat pada membran
sel. Carrier mengubah zat yang akan dipindahkan menjadi lebih larut dalam
komponen lipid membran
3)
Transport
aktif
Beberapa
zat, seperti beberapa asam amino dan kation divalen, melewati plasenta dengan
melawan gradien konsentrasi. Cara pemindahan dengan transport aktif memerlukan
energi sehingga cara ini disebut transport aktif.
4)
Pinositosis
Mekanisme
ini memungkinkan beberapa koloidal dan zat/ bahan tertentu dengan ukuran lebih
kecil dari sel, mungkin juga termasuk virus, melewati plasenta.
5.
Contoh teratogen umum dan mekanisme kerjanya
a.
Alkohol
Konsumsi
alkohol terutama pada trimester pertama secara berlebihan selama kehamilan
menyebabkan Sindrom alkohol janin (fetal alcohol syndrome) dan disertai
dengan terjadinya bibir sumbing. fetal
alcohol syndrome adalah salah satu kausa retardasi mental yang paling
dikenal di Amerika Serikat. Kelainan ini terjadi pada 6 per 10.000 kelahiran
dan ditandai oleh hambatan pertumbuhan, keterlambatan perkembangan dan
penampakan wajah yang khas. Anak yang terkena biasanya diketahui karena
kegagalan tumbuh kembang dan iritabilitas persisten. Beberapa gambaran sindrom
alkohol janin bisa dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel
3 Gambaran Sindrom Alkohol Janin
Hambatan
pertumbuhan
Gangguan
perilaku
Cacat otak
Cacat jantung
Cacat tulang
belakang
Anomali
kraniofasialis
Filtrum tidak
ada atau hipoplastik
Bibir atas
tebal
Jembatan
hidung mendatar
Bibir atas
hipoplastik
Mikrognatia
Mikroftalmia
Hidung
pendek
Jaringan
palpebra pendek
|
Wanita
yang beresiko paling tinggi adalah mereka yang telah lama mengkonsumsi alkohol
dalam jumlah besar dan mereka yang sering pesta minum-minum. Wanita alkoholik
yang mengkonsumsi delapan gelas atau lebih sehari sepanjang kehamilannya
memiliki resiko 30 hingga 50 persen memiliki anak dengan semua gambaran sindrom
alkohol janin. Akan tetapi, cedera pada janin juga dapat terjadi akibat sekadar
mengkonsumsi 1 sampai 2 gelas sehari, dan dosis ambang aman untuk pemakain
alkohol selama kehamilan belum pernah diketahui.
Konsumsi
alkohol pada saat hamil dikaitkan dengan berbagai kelainan perkembangan dalam
otak yang menyebabkan gangguan yang menetap/permanen dalam fungsi kognitif dan
motorik. Alkohol menggunakan efek neurotoksik dan teratogeniknya dengan cara
meningkatkan stres oksidatif dan merusak insulin/IGF-signaling pathway
dalam otak yang sedang berkembang itu. Alkohol memiliki efek inhibisi pada
insulin / IGF-signaling pathway dalam otak yang sedang berkembang dan neuron
yang belum matang. Sebagai contoh : alkohol merusak Ligand-receptor binding,
tyrosine fosforilasi dan aktivasi dari tyrosine kinase receptor,
transmisi sinyal melalui IRS (Insulin Receptor Substrate) proteins dan
PI3K (Phosphatidyl Inositol3 Kinase), Akt, p21ras dan MAPKK. Sebagai
akibatnya berkurangnya proliferasi sel-sel neuron, survival, migrasi, fungsi
mitochondria, produksi ATP, integritas membran sel, plastisitas dan fungsi
neurotransmitters.
Efek
yang terpenting alkohol merusak insulin/IGF-signaling dan Ligand
receptor binding dan mengaktivasi p (phosphatase) yang mengatur Tyrosine Receptor
kinase secara negatif. Oleh karena itu minum alkohol pada saat hamil
mengakibatkan defek yang besar di dalam insulin/IGF-signaling, dimulai
pada bagian proximal dalam peristiwa cascade ini dan sebagai akibatnya
menghasilkan keadaan kronis dari resisten terhadap insulin dalam sel neuron
yang sedang berkembang. Alkohol bisa juga berinterferensi dengan aktivitas Growth
Factors (GFs) yang mengatur proliferasi sel dan survivalnya. Kehilangan
dari GF- signaling dapat juga berinterferensi dengan atau mencegah pertumbuhan
dan perkembangan normal. Banyak sekali GFs diperlukan untuk pembelahan sel
untuk pertumbuhan yang normal, termasuk 2 faktor yang disebut IGF-I dan IGF- 36
II. Keduanya bekerja dengan mengikat molekul protein yang disebut IGFI-
Receptor yang terletak dipermukaan sel. Alkohol bisa berinterferensi dengan
IGFR. Sebagai akibatnya IGF-I yang masih terikat dengan receptornya, tetapi
fungsi signaling receptornya terhambat dan pembelahan sel yang dimediasi oleh
IGF-I tidak dapat berlangsung. Contoh ini memperlihatkan bagaimana alkohol
dapat mencegah produksi normal sel-sel SSP dengan cara berinteraksi dengan GFs
yang mengatur pembelahan sel.
Alkohol
juga dapat menginduksi kematian sel dengan menghambat beberapa GFs yang sudah
mendukung dan mencapai fungsi akhirnya (yaitu yang sudah berdiferensiasi) dan
sudah tidak lagi membelah. Sebagai contoh: IGF-I dan IGF-IR, juga berperan
dalam survival sel-sel yang tidak membelah dan dapat mencegah apoptosis seperti
yang diperlihatkan dalam beberapa contoh kematian sel. Mirip dengan situasi
pembelahan sel yang dipaparkan di atas, alkohol dapat menghambat IGF-IR dalam
sel-sel yang tidak membelah, karenanya mencegah survival dari sel-sel tersebut.
b.
Inhibitor Angiotensin Converting Enzyme (ACE)
Inhibitor ACE merupakan obat yang digunakan untuk mengobati
hipertensi dengan mencegah tubuh membuat hormone angiotensin II, hormon ini menyebabkan pembuluh darah
menyempit, yang dapat menaikkan tekanan darah. ACE inhibitor membiarkan
pembuluh darah melebar dan membiarkan lebih banyak darah mengalir ke jantung,
sehingga menurunkan tekanan darah. Inhibitor ACE bukan teratogen sejati, karena
belum pernah ada laporan terjadinya kelainan struktural pada bayi yang terpajan
selama trimester pertama. Akan tetapi, terdapat banyak laporan kerusakan akibat
pemajanan pada periode janin selanjutnya. Konsekuensi paling parah adalah
disgenesis tubulus ginjal yang menyebabkan oligohidramnion awitan dini, hipoplasia
paru dan kontraktur ekstremitas dan kematian perinatal. Hipokalvaria hipoplasia
tulang membranosa tengkorak berkaitan erat dengan pajanan terhadap inhibitor
ACE. Semua kelainan ini diperkirakan terjadi akibat hipotensi dan hipoperfusi
janin yang berkepanjangan akibat mekanisme kerja dari inhibitor ACE yaitu
melebarkan pembuluh darah sehingga terjadi hiotensi, Penurunan perfusi juga
menyebabkan hambatan pertumbuhan. Karena terjadi selama masa janin,
perubahan-perubahan ini disebut fetopati inhibitor ACE. Ini bukan merupakan
suatu sindrom, tetapi contoh klasik suatu sekuensi yaitu satu gangguan awal
memicu serangkaian gangguan lainnya.
c.
Obat anti kejang
Pemakaian anti kejang berkaitan langsung dengan efek samping pada
bayi, dengan resiko meningkat sesuai dengan jumlah obat. Malformasi yang paling
sering dilaporkan adalah sumbing orofasial, cacat jantung, cacat neural tube
dan keterlambatan perkembangan, dengan angka mal formasi keseluruhan adalah
sekitar 7 persen. Karena kebutuhan terhadap terapi obat, kadar serum yang
tinggi dan pemberian banyak obat juga mencerminkan keparahan penyakit pada ibu,
ada kemungkinan bahwa sebagian dari peningkatan resiko tersebut berkaitan
dengan penyakit epilepsi itu sendiri.
Sindrom hidantoin janin ditemukan pada 7 hingga 10 persen bayi yang
terpajan fenitoin in utero dan ditandai oleh cacat kraniofasialis, kelainan
ekstremitas tubuh, dan defisiensi mental. Pola malformasi serupa ditemukan pada
bayi yang terpajan karbamazepin (tegretol). Pajanan terhadap asam valproat
(Depakene) pad trimester pertama dilaporkan berkaitan dengan 1 hingga 2 persen
resiko terjadinya spina bifida yaitu 20 kali dari pada angka latar.
Tabel
4 Beberapa aspek embriopati akibat antikejang
Sindrom
hidantoin
|
Sindrom
karbamazepin
|
Kelainan
kraniofasialis
Sumbing
bibir/ langit-langit
Jembatan
hidung lebar
Hipertelorisme
Lipatan
epikantus
Cacat
ekstremitas
Hipoplasia
falang distal, kuku
Defisiensi
pertumbuhan
Defisiensi
mental
|
Kelainan
kraniofasialis
Jaringan
palpebra sipit
Hidung
pendek
Lipatan
epikantus
Cacat
ekstremitas
Hipoplasia
falang distal, kuku
Defisiensi
pertumbuhan
Defisiensi
menta
|
Hipotesa
mekanisme terjadinya teratogenisitas obat anti epilepsi adalah:
1)
Metabolisme
obat anti epilepsi terjadi melalui komponen arene oksid atau epoksid, yang
sebagian besar merupakan komponen reaktif yang bersifat teratogenik.
2)
Kelainan
genetik yang disebabkan oleh hidrolase epoksid meningkatkan resiko terhadap
toksisitas fetus, atau alternatif lain.
3)
Radikal
bebas yang dihasilkan dari metabolisme obat anti epilepsi danbersifat
sitotoksik.
4)
Kelainan
genetik yang disebabkan oleh “free radical scavenging activity”
meningkatkan resiko terhadap toksisitas fetus.
d.
Retinoid
Retinoid adalah suatu kelompok senyawa alami dan sintetik yang
secara struktural dan fungsional analog dengan vitamin A. Retinoid merupakan
substansi esensial untuk pertumbuhan normal, diferensiasi jaringan, reproduksi
dan penglihatan. Teratogenik merupakan efek samping paling serius pemakaian
retinoid. Pemberian retinoid pada awal kehamilan (terutama 3 minggu pertama
kehamilan) dapat menyebabkan abnormalitas fetus, antara lain pada kraniofasial,
sistem saraf pusat, dan jantung sehingga penting mencegah kehamilan pada wanita
usia subur sebelum memulai terapi.
Beberapa laporan kasus dan penelitian skala kecil mengaitkan
vitamin A dosis tinggi dengan anomali kongenital. Isotretinoin (Accutane),
suatu terapi yang sangat manjur untuk akne kistik, dianggap salah satu
teratogen paling poten yang digunakan secara umum. Pajanan pada trimester
pertama dilaporkan menyebabkan tingginya angka kematian janin dan malformasi
yang mengenai kranium, wajah, jantung, sistem saraf pusat dan timus. Malformasi
kraniofasialis mencakup mikrotia atau anotia, gangguan perkembangan tulang
wajah dan kranium dan sumbing langit-langit. Kelainan dilaporkan hanya berkaitan dengan pemakaian pada trimester
pertama dan tidak meningkat pada wanita yang menghentikan terapi ini sebelum
konsepsi. Etretinat (Tegison), yang digunakan untuk mengobati psoriasis,
dilaporkan menyebabkan anomali berat serupa dengan yang dijumpai pada pemberian
isotretinoin. Etretinat memiliki waktu paruh 120 hari dan masih dapat dideteksi
dalam serum hampir 3 tahun setelah penghentian obat. Jika pemakaian etretinat
tidak dapat dihindari maka dianjurkan wanita yang bersangkutan menunggu paling
sedikit 2 tahun setelah terapi dihentikan sebelum hamil. Tretinoin (Retin A)
merupakan gel topikal yang digunakan untuk mengobati akne vulgaris. Kulit
memetabolisasi sebagian besar obat tanpa menyerapnya secara bermakna dan belum
pernah dilaporkan adanya peningkatan malformasi kongenital.
Mekanisme kerja molekuler retioid yaitu Retinoid mempengaruhi
pertumbuhan dan diferensiasi sel epitel dan sel lain, menghambat perkembangan
sel tumor atau keganasan pada proses karsinogenesis, mempengaruhi proses
inflamasi dan sistem imun, serta mengubah perlekatan seluler. Dalam kondisi
normal, hampir semua efek vitamin A pada kulit diperantarai oleh ATRA. Pada
inti sel, terbentuk kompleks ikatan retinoid dengan protein reseptor RARs dan
RXRs. Reseptor tersebut bertindak sebagai ligand-dependent transcriptional
factors (misalnya RARs dapat berikatan dengan ATRA dan 9-cis-retinoid acid
dengan afinitas yang tinggi, sementara RXRs berinteraksi secara selektif dengan
9-cis retinoid acid) dan berikatan dengan retinoid dalam bentuk dimer, yaitu
dapat sebagai homodimer (RARs/RARs, RXRs/RXRs) atau heterodimer (RARs/RXRs).
Ikatan heterodimer memperlihatkan efisiensi ikatan lebih tinggi dibandingkan
dengan reseptor homodimer. Dimer kompleks retinoid dan reseptor mengaktivasi
gen yang memiliki sekuen DNA pendek spesifik yang disebut dengan retinoid
acid-responsive elements (RAREs dan RXREs), kemudian gen tersebut mengalami
transkripsi dan translasi.
e.
Penggunaan antibiotika
Penggunaan
antibiotika pada kehamilan bisa dengan tujuan terapi ataupun profilaksis.
Pemilihan jenis antibiotika yang akan diberikan pada ibu hamil seharusnya
didasarkan atas uji kepekaan di laboratorium untuk menentukan secara tepat
jenis antibotika yang diperlukan dengan mempertimbangkan pula efek toksik
terhadap ibu maupun efek teratogenik terhadap janin dalam rahim. Selain itu
penentuan dosis antibiotika juga harus mempertimbangkan perubahan
farmakokinetik yang sesuai dengan perubahan fisiologik pada ibu hamil. Kondisi
fisiologik ibu hamil akan sangat menentukan apakah sebaiknya obat yang
diberikan peroral atau parenteral dan dosis yang diberikan lebih tinggi atau
sama dengan ibu yang tidak hamil. Barier plasenta merupakan salah satu
perlindungan agar janin seminimal mungkin mendapatkan efek samping obat. Dalam
hal ini harus dipertimbangkan usia hamil saat mendapatkan antibiotika, oleh
karena pada fase embrio (2-8 minggu) barier plasenta ini sangat lemah (masa
kritis) dan meningkat sampai pada puncaknya pada waktu janin usia 21-28 minggu,
setelah itu akan menurun lagi sampai aterm.
Mekanisme
kerja obat anti infeksi terhadap mikroorganisme dapat berupa: Menghambat
sintesa metabolit-metabolit yang esensial, protein dan asam nukleat, Menghambat
sintesa dinding sel atau membran plasma, Merusak dinding sel atau membran
plasma. Dilihat dari mekanisme kerjanya maka antibiotika ini dapat mempunyai
efek:
1)
Bactericidal,
bila menyebabkan sel mikroorganisme tersebut mati oleh karena efek obat yang
merubah, menghambat atau merusak sel mikroorganisme.
2)
Bacteriostatic,
bisa menyebabkan pertumbuhan mikroorganisme terhenti oleh karena ada hambatan
terhadap metabolisme mikroorganisme. Obat-obat ini sebagian dalam bentuk
terikat dengan protein (protein binding) atau mengalami proses metabolisme
sehingga terbentuk metabolit-metabolit yang tidak dapat menembus barier
plasenta. Sebagian lagi dalam bentuk bebas tidak terikat dengan protein dan
tidak mengalami metabolisme, bentuk ini yang mampu menembus barier plasenta.
DAFTAR PUSTAKA